A. Pengertian Sumber Hukum
Sumber
hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan
memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi
yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Yang dimaksud dengan segala sesuatu
adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor
yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara fomal artinya darimana
hukum itu dapat ditemukan, darimana asal mulanya hukum, dimana hukum dapat
dicari atau hakim menemukan hukum, sehingga dasar putusannya dapat diketahui
bahwa suatu peraturan tertentu mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku dan
lain sebagainya.
Aktivitas
Hukum Administrasi Negara yang mencakup kegiatan administrasi negara yang
bersifat nasional dan juga internasional sebagai perkembangan global saat ini,
tentunya menjadikan bahwa sumber hukum administrasi negara dapat berasal dari
sumber hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia dan sumber hukum internasional seperti perjanjian internasional
antara Indonesia dengan negara lain dan juga berupa konvensi internasional yang
telah diratifikasi.
B. Sumber
Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil
Sumber
hukum, dapat dibagi atas dua yaitu: Sumber Hukum Materiil dan Sumber
Hukum Formil. Sumber Hukum Materiil yaitu factor-faktor yang membantu isi
dari hukum itu, ini dapat ditinjau dari segi sejarah, filsafat, agama,
sosiologi, dll. Sedangkan Sumber Hukum Formil, yaitu sumber hukum yang
dilihat dari cara terbentuknya hukum, ada beberapa bentuk hukum yaitu
undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, traktat.
Menurut
Algra sebagaimana dikutip oleh Sudikno (1986: 63), membagi sumber hukum menjadi
dua yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.
1) Sumber Hukum Materiil, ialah tempat dimana hukum itu
diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan factor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan
social politik, situasi social ekonomi, pandangan keagamaan dan kesusilaan,
hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaan geografis. Contoh:
Seorang ahli ekonomi akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam
masyarakat itulah yang menyebabkan timbulna hukum. Sedangkan bagi seorang ahli
kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat.
2) Sumber Hukum Formal, ialah tempat atau sumber darimana
suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau
cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku secara formal.
Van
Apeldoorn dalam R. Soeroso (2005:118), membedakan empat macam sumber hukum,
yaitu: Sumber hukum dalam arti
sejarah, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari
segi historis. Sumber hukum dalam arti sejarah ini dibagi menjadi dua yaitu:
a. Sumber hukum yang merupakan tempat
dapat diketemukan atau dikenalnya hukum secara historis, dokumen-dokumen kuno, lontar dan sebagainya.
b.
Sumber hukum yang merupakan tempat pembentukan
undang-undang mengambil bahannya.
3)
Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis)
merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, seperti misalnya
keadaan agama, pandangan agama, dan sebagainya.
4) Sumber hukum dalam arti filosofis,
dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Sumber
isi hukum, disini ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab
tantangan pertanyaan ini yaitu:
1.
Pandangan
teoritis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari Tuhan
2.
Pandangan
hukum kodrat, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari akal manusia
3.
Pandangan
mazhab historis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari kesadaran hukum
b.
Sumber
kekuatan mengikat dari hukum, mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat,
mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan
semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena
kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan.
5)
Sumber
hukum dalam arti formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara terjadinya
hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat
hakim dan masyarakat. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat. Agar dapat
berupa peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang, kebiasaan dan traktat atau perjanjian antar negara.
Marhaenis (1981:46), membedakan
sumber hukum menjadi dua yaitu sumber hukum ditinjau dari Filosofis Idiologis
dan sumber hukum dari segi Yuridis.
1) Sumber Hukum Filosofis Idiologis,
ialah sumber hukum yang dilihat dari kepentingan individu, nasional, atau
internasional sesuai dengan falsafah dan idiologi (way of life) dari
suatu Negara Seperti liberalisme, komunisme, leninisme, Pancasila.
2) Sumber Hukum Yuridis, merupakan penerapan
dan penjabaran langsung dari sumber hukum segi filosofis idiologis, yang
diadakan pembedaan antara sumber hukum formal dan sumber hukum materiil.
a.
Sumber Hukum Materiil, ialah sumber hukum yang
dilihat dari segi isinya misalnya: KUHP segi materiilnya ialah mengatur tentang
pidana umum, kejahatan, dan pelanggaran. KUHPerdata, dari segi materiilnya
mengatur tentang masalah orang sebagai subyek hukum, barang sebagai obyek
hukum, perikatan, perjanjian, pembuktian, dan kadaluarsa.
b.
Sumber Hukum Formal, adalah sumber hukum dilihat
dari segi yuridis dalam arti formal yaitu umber hukum dari segi bentuknya yang
lazim terdiri dari: Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi, Traktat.
Sebagai sumber hukum formil dari
Hukum Administrasi Negara menurut E. Utrecht., ialah:
1. Undang-undang/Hukum Administrasi
Negara Tertulis
2. Praktek Administrasi Negara (Hukum
Administrasi Negara yang merupakan Hukum Kebiasaan)
3. Yurisprudensi baik keputusan yang
diberi kesempatan banding (oleh Hakim ataupun yang tidak ada banding oleh
Administrasi negara tersebut).
4. Doktrin/Pendapat para ahli Hukum
Administrasi Negara
1. Undang-Undang (Statute)
Yaitu
peraturan tertulis yang dibuat oleh alat perlengkapan Negara, dan tercantum
dalam peraturan perundang-undangan. Menurut BUYS, undang-undang ini mempunyai
dua arti yakni:
Undang-Undang
dalam arti formil, yaitu setiap keputusan yang merupakan undang-undang
karena cara pembuatannya. Di Indonesia UU dalam arti formil ditetapkan oleh
presiden bersama-sama DPR, contoh UUPA, UU tentang APBN, dll.
Undang-Undang
dalam arti materiil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya
mengikat langsung setiap penduduk. Contoh: UUPA ditinjau dari segi kekuatan
mengikatnya undang-undang ini mengikat setiap WNI di bidang agraria.
Berdasarkan
amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dan selanjutnya berdasarkan Pasal
20 ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
Dengan
adanya perubahan UUD 1945 tersebut maka kedudukan DPR jelas merupakan lembaga
pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan fungsi inisiatif di bidang legislasi
yang dimiliki oleh Presiden tidak menempatkan Presiden sebagai pemegang
kekuasaan utama di bidang ini. Perubahan ini sekaligus menegaskan bahwa UUD
1945 dengan sungguh-sungguh menerapkan sistem pemisahan kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikati dimana sebelumnya fungsi legislatif dan eksekutif tidak
dipisahkan secara tegas dan masih bersifat tumpang tindih.
Bentuk
hukum peraturan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, sama-sama
merupakan bentuk peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil
rakyat dan kepala pemerintahan yang bersangkutan. Khusus untuk tingkat desa,
meskipun tidak terdapat lembaga parlemen sebagaimana mestinya, sebagaimana
diatur dalam Pasal 209 dan 210 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dibentuk Badan Permusyawaratan Desa, dimana ditegaskan bahwa “Badan
Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”.
Untuk
melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat
tersebut, maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberi wewenang
untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu selain UU, Presiden juga berwenang
mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Demikian pula
Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa, selain bersama-sama para wakil
rakyat membentuk peraturan daerah dan peraturan desa, juga berwenang mengeluarkan
peraturan kepala daerah sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih
tinggi tersebut.
2. Kebiasaan (Costum)
Yaitu
perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama.
Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu
selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang
berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum,
maka dengan demikian timbulah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup
dipandang sebagai hukum.
Sudikno
(1986:82) menguraikan bahwa kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah
laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan
hidup tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg ini berarti merupakan perilaku
manusia yang diulang, dimana perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan
normatif, dan mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang oleh orang banyak
maka mengikat orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama, karenanya
menimbulkan keyakinan atau kesadaran bahwa hal itu memang patut dilakukan. Yang
menjadikan tingkah laku itu kebiasaan atau adat adalah kepatutan dan bukan
semata-mata unsur terulangnya atau ajegnya tingkah laku. Karena dirasakan patut
inilah maka lalu diulang, dan patut tidaknya suatu tingkah laku tadi bukan
karena pendapat seseorang tetapi pendapat masyarakat.
Tidak
semua kebiasaan itu mengandung hukum yang baik dan adil. Oleh karena itu belum
tentu suatu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi sumber hukum. Hanya
kebiasan-kebiasaan dan adat istiadat yang baik dan diterima masyarakat yang
sesuai dengan kepribadian masyarakat tersebutlah yang kemudian berkembang
menjadi hukum kebiasaan. Sebaliknya ada kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan
ditolak oleh masyarakat, dan ini tentunya tidak akan menjadi hukum kebiasaan
masyarakat, sebagai contoh: kebiasaan begadang, berpakaian seronok, dan
sebagainya.
Sudikno
(1986: 84) menyebutkan bahwa untuk timbulnya kebiasaan diperlukan beberapa
syarat tertentu yaitu:
a.Syarat
materiil, Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang (longa
et invetarata consuetindo).
b. Syarat
intelektual, Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opinio
necessitatis).
c. Syarat akibat
hukum apabila hukum itu dilanggar
Utrecht
(1966:120-122), menyebutkan bahwa: “Hukum kebiasaan ialah kaidah-kaidah yang
biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan –dalam suasana “werkelijkheid”
(kenyataan) ditaati juga, karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu
sebagai hukum dan telah ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh
penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk lingkungan badan-badan
perundang-undangan. Dengan demikian hukum kebiasaan itu kaidah yang – biarpun
tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan- masih juga sama kuatnya
dengan hukum tertulis. Apalagi bilamana kaidah tersebut menerima perhatian dari
pihak pemerintah”.
Di Indonesia kebiasaan itu diatur
dalam beberapa undang-undang yaitu antara lain:
Pasal
1339 KUHPerdata disebutkan bahwa “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”.
Pasal
1346 KUHPerdata disebutkan bahwa “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan
menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan
telah dibuat”.
Selanjutnya
dalam Pasal 1571 KUHPerdata juga disebutkan bahwa: “Jika perjanjian sewa
menyewa tidak dibuat dengan tertulis, maka perjanjian sewa menyewa tidak
berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang satu
memberitahukan kepada pihak lain bahwa ia hendak menghentikan perjanjian dengan
mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”.
Mengenai
praktek administrasi negara sebagai sumber hukum formil, dapat dikatakan bahwa
praktek itu membentuk hukum administrasi negara kebiasaan (hukum tidak
tertulis). Hukum administrasi negara kebiasaan tersebut dibentuk dan
dipertahankan dalam keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara.
Sebagai suatu sumber hukum formil, maka sering sekali praktek administrasi
negara itu berdiri sendiri (zelfstandig) disamping undang-undang. Bahkan
tidak jarang praktek administrasi negara mengesampingkan (opzijzetten)
peraturan perundang-undangan yang telah ada.
R.
Soeroso (2005: 155) menyatakan kelemahan dari hukum kebiasaan yaitu 1) bahwa
hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis dan oleh karenanya tidak dapat
dirumuskan secara jelas dan pada umumnya sukar menggantinya, dan 2) bahwa hukum
kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan beracara karena
hukum kebiasaan mempunyai sifat aneka ragam.
3. Keptusan-Keputusan Hakim
(Yurisprudensi)
Purnadi
Purbacaraka menyebutkan bahwa istilah Yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia
(bahasa latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata
yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan kata “yurisprudentie”
dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau bukan peradilan. Kata
yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum (algemeene
rechtsleer: General theory of law), sedangkan untuk pengertian
yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah Case Law atau Judge Made
Law. Dari segi praktek peradilan yurisprudensi adalah keputusan hakim yang
selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama.
Beberapa alasan
seorang hakim mempergunakan putusan hakim yang lain (yurisprudensi) yaitu:
a.
Pertimbangan Psikologis
Hal
ini biasanya terutama pada keputusan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung,
maka biasanya dalam hal untuk kasus-kasus yang sama hakim di bawahnya secara
psikologis segan jika tidak mengikuti keputusan hakim di atasnya tersebut.
b.
Pertimbangan Praktis
Pertimbangan
praktis ini biasanya didasarkan karena dalam suatu kasus yang sudah pernah
dijatuhkan putusan oleh hakim terdahulu apalagi sudah diperkuat atau dibenarkan
oleh pengadilan tinggi atau MA maka akan lebih praktis apabila hakim berikutnya
memberikan putusan yang sama pula. Di samping itu apabila keputusan hakim yang
tingkatannya lebih rendah memberi keputusan yang menyimpang atau berbeda dari
keputusan yang lebih tinggi untuk kasus yang sama, maka keputusan tersebut
biasanya tentu tidak dibenarkan/dikalahkan pada waktu putusan itu dimintakan
banding atau kasasi.
c. Pendapat
Yang sama
Pendapat
yang sama biasanya terjadi karena hakim yang bersangkutan sependapat dengan
keputusan hakim lain yang terlebih dahulu untuk kasus yang serupa atau sama.
4. Traktat (Treaty)
Yaitu perjanjian antar negara/perjanjian
internasional/perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih. Akibat
perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada
perjanjian yang mereka adakan itu. Hal ini disebut Pacta Sun Servada yang
berarti bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakan atau setiap
perjanjian harus ditaati dan ditepati oleh kedua belah pihak.
Ada beberapa macam traktat (treaty)
yaitu:
a. Traktat
bilateral atau traktat binasional atau twee zijdig
Yaitu apabila perjanjian dilakukan oleh
dua negara. Contoh: Traktat antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi menyangkut kejahatan kriminal biasa dan
kejahatan politik.
b. Traktat
Multilateral
Yaitu
perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contoh: Perjanjian kerjasama beberapa negara di bidang pertahanan dan
ideologi seperti NATO.
c. Traktat
Kolektif atau traktat Terbuka
Yaitu
perjanjian yang dilakukan oleh oleh beberapa negara atau multilateral yang
kemudian terbuka untuk negara lain terikat pada perjanjian tersebut. Contoh:
Perjanjian dalam PBB dimana negara lain, terbuka untuk ikut menjadi anggota PBB
yang terikat pada perjanjian yang ditetapkan oleh PBB tersebut.
Adapun
pelaksanaan pembuatan traktat tersebut dilakukan dalam beberapa tahap dimana
setiap negara mungkin saja berbeda, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
1. Tahap
Perundingan
Tahap ini
merupakan tahap yang paling awal biasa dilakukan oleh negara-negara yang akan
mengadakan perjanjian. Perundingan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis
atau melalui teknologi informasi lainnya. Perundingan juga dapat dilakukan
dengan melalui utusan masing-masing negara untuk bertemu dan berunding baik
melalui suatu konferensi, kongres, muktamar atau sidang.
2. Tahap Penutupan
Tahap penutupan
biasanya apabila tahap perundingan telah tercapai kata sepakat atau
persetujuan, maka perundingan ditutup dengan suatu naskah dalam bentuk teks
tertulis yang dikenal dengan istilah “Piagam Hasil Perundingan” atau “Sluitings-Oorkonde”.
Piagam penutupan ini ditandatangani oleh masing-masing utusan negara yang
mengadakan perjanjian.
3. Tahap
Pengesahan atau ratifikasi
Persetujuan
piagam hasil perundingan tersebut kemudian oleh masing-masing negara (biasanya
tiap negara menerapkan mekanisme yang berbeda) untuk dimintakan persetujuan
oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
Tahap Pertukaran
Piagam
Pertukaran
piagam atau peletakkan piagam dalam perjanjian bilateral maka naskah piagam
yang telah diratifikasi atau telah disahkan oleh negara masing-masing
dipertukarkan antara kedua negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam traktat
kolektif atau terbuka peletakkan naskah piagam tersebut diganti dengan
peletakkan surat-surat piagam yang telah disahkan masing-masing negara itu,
dalam dua kemungkinan yaitu disimpan oleh salah satu negara berdasarkan
persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam traktat atau disimpan
dalam arsip markas besar PBB yaitu pada Sekretaris Jenderal PBB.
5. Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Biasanya
hakim dalam memutuskan perkaranya didasarkan kepada undang-undang, perjanjian
internasional dan yurisprudensi. Apabila ternyata ketiga sumber tersebut tidak
dapat memberi semua jawaban mengenai hukumnya, maka hukumnya dicari pada
pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum. Jadi doktrin adalah pendapat para
sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim, dalam
mengambil keputusannya. Di Indonesia dalam hukum Islam banyak ajaran-ajaran
dari Imam Syafi’i yang digunakan oleh hakim pada pengadilan Agama dalam
pengambilan putusan-putusannya.
thanks gan...
BalasHapus