I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kejahatan
tidak mungkin ada tanpa adanya pelaku dan korban. Victimologi sebagai bidang
ilmu yang lebih menyoroti korban maka victimisasi kriminal terhadap perempuan,
akan lebih menyoroti perempuan sebagai korban suatu kejahatan. Perempuan adalah mahluk yang
dianggap mempunyai fisik dan psikis yang lemah sehingga selalu bergantung pada
orang lain, dianggap bodoh, dianggap pasti akan kalah jika berhadapan dengan
kekuatan dan kekuasaan karena tidak ada yang melindung. (Sumber: SAGUNG PUTRI M.E PURWANI. VICTIMISASI KRIMINAL
TERHADAP PEREMPUAN).
Perempuan sebagai
korban memang sering terjadi mengingat perempuan pada kodratnya merupakan
makhluk yang lemah, maka harus dilindungi baik harkat dan martabatnya. Di
negara Indonesia telah diatur beberapa peraturan untuk menjaga Hak asasi
manusia khususnya pada perempuan agar tidak selalu menjadi korban seperti
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun
2000 tentang Peradilan HAM, serta UU tentang perlindungan saksi dan korban,
serta Undang-undang Nomor 23Tahun 2004 tentang Penghapuan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Pemerintah mengatur hal ini untuk melindungi
setiap warga negaranya. Penulis mengambil judul makalah “Analisis korban pada
KDRT” ini karena penulis melihat banyak sekali kejadian, peristiwa atau kasus
yang terjadi mengenai KDRT ini. Seperti kasus yang terjadi di Bondowoso, Esa Rusiana diketahui tewas di
dalam kamarnya dengan luka memar di beberapa bagian tubuhnya. Luka memar itu
diduga akibat penganiayaan yang dilakukan Tolak Arif, suaminya sendiri (Liputan
6.com 30/03/2010 14:13). Ini merupakan salah satu contoh kasus dari sekian
banyak kasus yang terjadi di negeri ini.
1.2. Rumusan Masalah
Dari pendahuluan diatas penulis dapat mengambil
suatu rumusan masalah yaitu:
1.
Apakah sebenarnya KDRT itu dan apa hubungannya dengan viktimologi?
2.
Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya KDRT dan siapa saja yang
sering menjadi korban?
3.
Bagaimana solusi agar tidak terjadi KDRT dalam keluarga?
II. METODE PENULISAN
2.1. Viktimologi
Perlu dijelaskan terlebih dahulu
perumusan viktimologi
yang akan digunakan untuk membahas masalah kekerasan terhadap perempuan dalam
tulisan ini. Viktimologi
adalah suatu
pengetahuan ilmiah/ studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai
suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Arif
Gosita:2004 ; 38).
Dilihat
dari ruang lingkup seperti tersebut diatas, jika dibandingkan antara viktimologi dengan kriminologi, maka
dapat diketahui bahwa keduanya mempunyai obyek studi yang sama, yaitu pelaku
dan korban. Sedangkan perbedaannya yaitu viktimologi lebih menekankan pada korban sedangkan kriminologi
pada pelaku. Sehingga lebih lanjut yang dibahas dalam tulisan ini adalah perempuan sebagai korban dalam tindak
kekerasan atau kejahatan, walaupun sebenarnya tidak ada timbul viktimisasi
kriminal (viktimitas) atau kejahatan (kriminalitas) tanpa adanya pihak korban
dan pelaku. Karena masing-masing merupakan kompenen suatu interaksi (mutlak)
yang hasil interaksinya adalah
suatu viktimisasi kriminal (kriminalitas).
Viktimisasi kriminal kekerasan adalah tindakan-tindakan
yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang terhadap orang
lain, baik untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain dan yang menimbulkan
penderitaan mental, fisik dan sosial.
Sumber: SAGUNG
PUTRI M.E PURWANI. VICTIMISASI KRIMINAL
TERHADAP PEREMPUAN).
2.2.
Tindak pidana kekerasan dan bentuk-bentuknya
Yang dimaksud dengan tindak
kekerasan disini adalah
tindak pidana yang telah dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP)
sebagai berikut:
Ø Pasal
89: perbuatan membuat seseorang dalam keadaan pingsan.
Ø Pasal
285: perkosaan: memaksa seorang perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan
dirinya diluar perkawinan.
Ø Pasal
289: memaksa orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan
atau membiarkan orang lain untuk melakukan tindakan melanggar kesusilaan.
Ø Pasal
335: memaksa orang lain melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan
sesuatu melawan hukum.
Ø Pasal
351, 353, 354, 355, (penganiayaan berat)
Ø Pasal
352: (penganiayaan ringan)
(Sumber: Arif Gosita:2004; 43)
2.3. Pengertian victim (korban)
Seperti yang diungkapkan oleh Von
Hentig dalam bukunya “The Criminal and His Victim” yang dikutip dari Arif
Gosita: bahwa korban sangat berperanan dalam timbulnya kejahatan karena si
korban tidak hanya sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas tetapi juga
memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran, dan mengerti masalah
kejahatan, delikuensi dan deviasi. (Arif Gosita: 2004;63)
Menurut The Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (1985), bahwa yang dimaksud dengan korban (victim) adalah orang-orang yang
secara individual atau kolektif telah mengalami penderitaan, meliputi
penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau
pengurangan substansial hak-hak asasi melalui perbuatan-perbuatan atau
pembiaraan-pembiaraan (omisionaris) yang melanggar hukum pidana yang berlaku
dinegara-negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang lmealrang
penyalahgunaan kekuasaan. (Arif Gosita: 2004; 44).
Pengertian korban dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 Butir ke 3 yaitu “Korban adalah orang
yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.
Korban yang akan dibahas dalam makalah ini adalah korban KDRT.
III.
PEMBAHASAN
3.1. Pengertian KDRT dan hubungannya dengan viktimologi
Sebelum kita membahas lebih jauh
tentang korban dalam KDRT sebaiknya penulis memaparkan pengertian KDRT
(kekerasan Dalam Rumah Tangga). Pengertian KDRT tercantum pada UU No.23 tahun 2004 ini yaitu pada pasal 1 butir ke 1 “Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Dari pembahasan UU diatas dapat
diketahui bahwa dalam UU telah mengatakan yaitu setiap perbuatan yang merugikan
orang lain dalam keluarga yang dimaksud dengan KDRT.
Setiap
Insan manusia yang berkeluarga sangat mendambakan kehidupan yang harmonis
dengan dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang antar anggota keluarga. Keluarga
yang damai, tentram dan bahagia merupakan tujuan setiap insan dalam menjalani
kehidupan perkawinannya, namun tidak setiap keluarga dapat menjalani kehidupan
rumah tangganya dengan penuh cinta, kasih sayang dalam suasana kedamaian dan
kebahagiaan. Tak jarang kehidupan rumah tangga justru diwarnai oleh adanya
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik kekerasan fisik, psikis, maupun
kekerasan ekonomi.
Fenomena KDRT sebenarnya
bukan sesuatu yang baru, bahkan sudah ada sejak jaman dulu hanya saja saat ini
perkembangan kasus-kasusnya semakin bervariasi. Hal ini juga diikuti oleh
kesadaran dari korban untuk melaporkan kepada aparat hukum atau lembaga yang
memiliki kepedulian tinggi terhadap kasus kekerasan rumah tangga (anak dan
perempuan). Data dari Kementrian Kordinator Kesejahteraan Rakyat menunjukkan
bahwa hingga bulan Mei 2007 terdapat 22 ribu kasus kekerasan rumah tangga yang
dilaporkan ke kepolisian. Berdasarkan beberapa laporan dari berbagai daerah di
tanah air, kasus KDRT menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Dari data data diatas
penulis akan menghubungkan bagaimanakah hubungannya dengan viktimologi.
Pengertian viktimologi telah dijelaskan penulis pada BAB II metode penulisan.
Nah, Apakah sebenarnya hubungan antara kasus KDRT dengan viktimologi.
Menurut hemat
penulis, dalam Ilmu Hukum pidana,
mempelajari tentang korban dalam suatu tindak pidana dalam hal ini KDRT sangat penting karena korban merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kejahatan. Maka untuk mempelajari suatu tindak
pidana itu terjadi para pakar hukum pidana mempelajari tentang viktimologi
sebagai cara untuk meminimalisir terjadinya suatu tindak pidana.
Dengan cara melihat
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya korban seperti mengapa rong itu yang
menjadi korban, atau mengapa orang itu yang selalu menjadi korban maka perlu
juga mengetahui atau mempelajari ilmu tentang korban sebagai tujuan untuk
meminimalisir berbagai tindak pidana dalam hal ini KDRT.
Benjamin Mendelsohn sebagai penggagas pertama istilah viktimologi, dalam sebuah
makalah berjudul “New Bio-psycho-social
Horizon; Victimology” memberikan batasan mengenai korban dengan upaya pendekatan
korban dari segi biologis, psikologis dan sosial, namun beberapa pakar
memberikan kritik terhadap pendapat ini karena Mendelsohn dalam
memberikan pendekatan masih menggunakan penelitian terhadap petindak pelanggaran
(penjahat) yang mana masih menggunakan perspektif kriminologi yang dianggap
sudah agak kuno. Von Hentig memberikan kontribusi keilmuan melalui
tulisannya pada 1941 berjudul “Remarks on the Interaction of
Prepertator and Victim” dan “The Criminal and His Victim” (1948) yang
memberikan gambaran hubungan antara Pelaku Kejahatan dengan Korbannya.
Dalam melihat hubungan antara kejahatan dengan korban, JE. Sahetapy mempunyai pendapat
yang berbeda. JE Sahetapy menawarkan suatu istilah ”viktimitas”
berasal dari kata ”victimity”, dimana Sahetapy
menginginkan adanya pembatasan hubungan antara masalah korban dengan faktor
kejahatan.”Jadi kalau kita beranjak dari pangkal tolak viktimitas, maka dengan
sendirinya masalah korban tidak perlu selalu dihubungkan dengan faktor kejahatan” .
Jadi viktimologi sangat berhubungan
langsung dengan setiap kejahatan dalam hal ini KDRT yang menimbulkan korban
langsung dan beberapa korban tidak langsung sebagai objek dari kejahatan itu
sendiri seperti yang akan dijelaskan selanjutnya dalam makalah ini.
3.2. Faktor
yang menyebabkan terjadinya KDRT dan siapa saja yang menjadi korban
Permasalahan KDRT meningkat disetiap tahunnya, ini merupakan keprihatinan
kita bersama
Fenomena
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terus meningkat akhir – akhir ini
terjadi karena berbagai faktor, dikutip dari situs Kepolisian Negara Indonesia,
AKBP Drs. YUDIAWAN SRIYANTO, Psi diantaranya:
1.
Masih rendahnya kesadaran untuk berani
melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan
permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang
kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data
kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang
sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar
bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan
maupun kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan
dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak
yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang
sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
- Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
- Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
- Lingkungan. Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.
Permasalahan sosial
tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara langsung maupun tidak
langsung akan berdampak pada si korban baik secara fisik maupun psikis korban
tersebut. Akibat penganiayaan fisik yang jelas menderita sakit badaniah contoh:
penganiayaan yang dilakukan oleh suami di Surabaya yang menyiramkan air panas
ke muka istrinya yang berakibat fatal wajah istrinya tersebut menjadi melepuh.
Penganiayaan – penganiayaan yang juga dilakukan oleh orang tua kepada anak –
anaknya juga sering kita dengra dan lihat mengakibatkan anka tersebut menderita
patah, memar maupun yang sangat yang lebih marah sampai meninggal dunia.
Dari contoh – contoh
diatas merupakan dampak – dampak fisik akibat dari KDRT yang secara tidak
langsung akan juga berdampak pada kondisi psikologis para koraban KDRT,
(penganiayaan anak yang dilakukan orang tua) akibat yang dilakukan oleh orang
tua merupakan pengalaman yang sangat negatif bagi anak. Dengan demikian, tidak mengejutkan bila banyak
di antara anak –anak mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka
panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dengan hubungan sosial, dan perilaku
mereka secara umum. Self Esteem yang rendah, kecemasan, perilaku merusak diri (self destructive), dan ketidakmampuan menjalin hubungan yang
saling mempercayai dengan orang lain adalah efek – efek penganiayaan fisik pada
masa kanak – kanak yang lazim dilaporkan (Milner dan Crouch, 1999). Pada dampak
penganiayaan pada pasangan yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga,
selain menimbulkan akibat fisik badaniah ( cedera yang serius. Lebih tingginya
insiden penyakit fisik yang berhubungan dengan stress) dan efek yang bersifat
ekonomis. Diantara efek – efek psikologis penganiayaan pasangan, depresi,
kecemasan, dan self esteem yang negatif telah diidentifikasi sebgai respon yang
lazim dijumpai. Selain itu, penganiayaan pasangan memiliki efek adversif
terhadap hubungan antar pribadi secara umum.
Perempuan juga sering menjadi
korban karena perempuan sebagai korban berada pada daerah yang rawan atau
karena dianggap tidak akan berani melakukan perlawanan sebagai pembalasan yang
memadai sehingga kelemahan ini sering dimanfaatkan seenaknya oleh sipelaku yang
merasa dirinya lebih kuat, lebih berkuasa dari pada pihak korban. Seperti
misalnya dalam keluarga, perempuan sebagai istri sering menjadi korban
kekerasan yang dilakukan oleh suami karena istri dianggap sangat bergantung
pada suami. Hal inilah yang dipakai sebagai salah satu alasan diundangkannya Undang-Undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT), dan kekerasan yang dimaksudkan disini tidak hanya kekerasan
fisik tetapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual atau juga penelantaran
rumah tangga. Demikian pula halnya dengan kondisi perempuan sebagai buruh,
pembantu rumah tangga ataupun sebagai pegawai atau karyawan yang secara
individual mempunyai kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak
majikan sehingga majikan dapat melakukan tindakan seenaknya seperti
penganiayaan, pebudakan dan perampasan hak asasinya, yang semua tindakan ini adalah termasuk kejahatan
atau viktimisasi kriminal.
Dari
penjelasan diatas penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa faktor
terjadinya KDRT dalam keluarga yaitu karena diantaranya takut bahwa aib keluarga
ketahuan oleh orang lain dan yang paling penting bahwa masih kurangnya
kesadaran dari masyarakat untuk melapor masalah ini ke kantor polisi. Padahal
apabila dilihat dari dampaknya akan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya
terutama bagi keluarga itu sendirinya khususnya dalam hal ini yang menjadi
korban yaitu perempuan dan anak-anaknya.
3.3. Solusi
agar tidak terjadi KDRT dalam keluarga
Dengan kata lain solusi untuk mencegah agar tidak terjadi KDRT yang
menimbulkan korban dalam keluarga dan hubungan berumah tangga maka ada beberapa
sulusinya diantaranya yaitu:
1.
Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah
persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait
dengan HAM.
2. Sosialiasasi
pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan
dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara
mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama–tama dan terutama
membutuhkan adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat
diterima.
3. Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan
kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa,
menghibur dan patut menerima penghargaan.
4. Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop,
radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat
mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Peran media massa
sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat
memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu
tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil
apapun bentuk dari penganiayaan.
5.
Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan
(konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan)
sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat
dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.
Dari uraian diatas, maka buat mereka yang sebagai
korban KDRT atau kita sebagai warga masyarakat harus menyadari bahwa KDRT membawa akibat – akibat negatif yang
berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak
cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan
berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya
yang merugikan.
IV. KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas pnulis dapat
menarik kesimpulan bahwa:
1. Perhatian
hukum terhadap korban tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP, UU Penghapusan
KDRT, dan beberapa UU yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia belum mendapat perhatian optimum, tetapi
sebaliknya perhatian pengaturan hukum atas dasar penghormatan terhadap HAM dari
pelaku tindak pidana cukup banyak.
2. Pengertian
mengenai kepentingan korban dalam kajian viktimologi, tidak saja hanya di pandang dari perspektif hukum
pidana atau kriminologi saja, melainkan berkaitan pula dengan aspek
keperdataan;
3. Perempuan
dan anak-anak kerap menjadi korban KDRT ini.
4.2.
Saran
Melihat dari faktor penyebab
terjadinya KDRT maka petugas yang berwewenang untuk menangani masalah ini harus
lebih aktif lagi untuk menjalankan tugasnya menghapuskan kekerasan dalam rumah
tangga sesuai dengan dikeluarkannya UU Penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, karena korban yang timbul akibat dari perbuatan ini sangat membutuhkan
perlindungan dari Negara. Pemerintah juga wajib mengsosialisasikan tentang UU
ini untuk menciptakan masyarakat yang taat pada hukum sehingga mencapai tujuan
bersama yaitu kesejahteraan umum berdasarkan keadilan.
V.
DAFTAR PUSTAKA
1.
SAGUNG PUTRI M.E PURWANI. VICTIMISASI KRIMINAL
TERHADAP PEREMPUAN
2.
TRI HERMINTADI. KEPENTINGAN
KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DARI SUDUT PANDANG VIKTIMOLOGI.
3.
AKBP Drs. YUDIAWAN SRIYANTO, Psi. ADA APA DENGAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA?
Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar