Minggu, 22 April 2012

PERTUMBUAHAN DAN PERKEMBANGAN SISTEM PERADILAN PIDANA


PERTUMBUAHAN DAN PERKEMBANGAN
SISTEM PERADILAN PIDANA

A.    Pengertian Istilah dan komponen sistem peradilan pidana

1.      Peristilahan
Istilah “Criminal Justice System” atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) kini telah menjadi istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem.
Ramington dan Ohlin mengemukakan sebagai berikut:
Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan , praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah, sistem pengendallian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisisan, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana.
Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan:
a.       Mencegah  masyarakat menjadi korban kejahatan
b.      Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c.       Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu “Integrated criminal justice system”

2.      Bentuk Pendekatan  dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normative, administratif, dan sosial.
Pendekatan Normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakkan hukum semata-mata.
Pendekatan Administratif memandang keempat aparatur penegak hokum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi.
Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem social, sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas semua keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial.

3.      Bentuk Pendekatan Normatif dalam Sistem Peradilan Pidana
Packer membedakan pendekatan Normatif kedalam dua model, yaitu: crime control model dan due process model, dan pembedaan dua model tersebut sesuai dengan kondisi social, budaya dan structural masyarakat Amerika Serikat. Perbedaan dari kedua model system peradilan terdapat dalam table berikut:

Crime Control Model

Due process model
5 karakteristik
values
5 karakteristik
1.      Represif
2.      Presumption of guilt
3.      Informal fact finding
4.      Factual guilt
5.      Efisiensi
mekanisme
1.      Preventif
2.      Presemption of inoucence
3.      Formal adjudicative
4.      Legal guilt
5.      Efektifitas
Avirmative model
tipologi
Negative model
 
Samuel walker menyebut bahwa model-model yang dikembangkan oleh packer merupakan pembedaan yang klasik dalam system peradilan pidana dan pembedaan kedua model tersebut merupakan hasil konflik antara pemikiran yang “punishment” atau “rehabilitation”.

4.      Komponen Sistem Peradilan Pidana
Komponen system peradilan pidana yang lazim diakui , baik dalam pengetahuan mengenai ,kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktik penegakkan hukum, terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Namun demikian, apabila system peradilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrument dari suatu kebijakan criminal, maka unsure yang terkandung didalamnya termasuk juga pembuat undang-undang sebagaimana dikemukakan oleh Nagel yang tidak juga memasukkan kepolisian sebagai salah satu komponen system peradilan pidana.
Van Bammelen, mengingatkan bahwa penjatuhan pidana yang diputus oleh hakim, dalam pelaksanaannya oleh petugas pemasyarakatan bersifat variatif sehingga peranan dan pengaruh hakim dapat dikatakan hampir tidak ada, sehingga peranan dan kedudukan hakim sebagai “key figure” dalam sistem peradilan pidana sangat kecil. Kebijakan Hakim yang sangat besar dalam penjatuhan pidana seimbang dengan perannya yang sangat kecil dalam kebijakan penuntutan dan pelaksanaan pidana. Konsekuensi yang sangat penting dari kedudukan tersebut adalah kritik terhadap penjatuhan pidananya. Kritik tersebut saat ini ditunjukkan terhadap kemandirian peranan seorang hakim dalam melakukan tugasnya.

B.     Pendekatan Sistem dalam Peradilan Pidana
Berbicara tentang pertumbuhan dan perkembangan pendekatan system dalam peradilan pidana tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi kepolisian sebgai satu-satunya organisasi yang berhadapan langsung dengan penanggulangan kejahatan dalam masyarakat.
Sejarah perkembangan penanggulangan kejahatan di Eropa dan Amerika serikat menunjukkan bahwa instansi pertama dan terdepan dalam menghadapi kejahatan adalah kepolisian.
Pada awal mula pembentukkan organisasi kepolisian di Inggris pada Tahun 1818, terdapat upaya menentang pembentukannya. Karakteristik polisi sebagaimana dicita-citakan dalam Negara demokrasi diatas memerlukan transparansi tugas-tugas penegakkan hukum sehingga hokum dapat ditegakkan dan keadilan dapat dicapai tanpa pengorbanan semua Hak Asasi Masyarakat yang seharusnya dilindungi. Hanya dengan cara demikian, kekhawatiran masyarakat akan munculnya suatu “Negara polisi” atau “police state” tidak akan terjadi.
Pada tahun 1962, suatu komisi dibentuk oleh Raja Inggris, dikenal dengan nama The Royal Commission telah membuat sebuah laporan yang mengungkapkan bahwa, Kepolisian harus tanggap terhadap permasalahan hukum dan dapat melaksanakannya dengan baik dan kemerdekaan Inggris tidak bergantung pada suatu bentuk khusus kepolisian melainkan pada kewibawaan parlemen dan the rule of law.
Di Negara Demokrasi tampak bahwa aparat kepolisian selalu dihadapkan pada dua konflik kepentingan, yaitu kepentingan memelihara ketertiban di satu sisi dan kepentingan mempertahankan asas legalitas di sisi lain. Konflik yang sama juga terjadi di Amerikia Serikat, bahkan semakin kompleks sifatnya.
Konflik yang terungkap dari pernyataan berikut:
1)      Polisi di Amerika Serikat harus konsisten dengan Undang-Undang.
2)      Berdasarkan Studi yang dilakukan oleh Komisi Wickersham dari The National Committee of Law Observance and Enforcement telah ditemukan beberapa praktik yang sangat sadis dan mengerikan sehingga sangat jauh dari sentuhan intelektual, seperti teknik Interogasi yang mengakibatkan tersangka membuat pengakuan yang merugikan dirinya di sidang pengadilan.
Konsekuensi logis dari praktik tersebut ialah bahwa masalah mendasar bukan terletak pada, apakah petugas kepolisian sudah melakukan tugasnya berdasarkan “due process of law” akan tetapi patut dipertanyakan apakah petugas kepolisian sudah melakukan tugasnya dengan tindakan yang beradab?
Bertitik tolak dari kenyataan praktik tugas kepolisian di Inggris dan Amerika Serikat. Dalam melaksanakan upaya tersebut telah muncul berbagai perdebatan antara kelompok yang menitikberatkan pada kepentingan ketertiban masyarakat dan kelompok yang menghendaki agar petugas kepolisian secara tegas menghormati semua ketentuan dalam sistem hokum yang berlaku terlepas dari apakah tindakan itu dipandang sangat mendesak dalam praktik. Kelompok pertama terdiri dari para petugas kepolisian dan kelompok kedua terdiri atas para penasehat hukum, hakim, dan ahli hukum.
Pendekatan hukum dan ketertiban yang bertumpu pada asas legalitas telah menimbulkan penafsiran ganda bagi petugas kepolisian . kedua penafsiran tersebut adalah:
1)      Penggunaan hukum sebagai instrument dari ketertiban dimana hukum pidana berisikan perangjat hukum untuk memelihara keertiban dalam masyarakat.
2)      Penggunaan hukum sebagai pembatas bagi petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugas atau dengan kata lain: hukum pidana  bertugas melindungi kemerdekaan individu suatu system ketertiban masyarakat.
Pendekatan hukum dan ketertiban dalam praktek telah mengalami kegagalan terutama dalam menekan angka kriminalitas di Amerika Serikat sehingga muncul gagasan “pendekatan system atau system approach” didalam mekanisme administrasi peradilan pidana. Pendekatan ini dalam teori kriminologi dan prevensi kejahatan dikenal sebagai “criminal justice system model”.
Dalam praktik penegakkan hukum, pihak kepolisian menghadapi berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun prosedur legal dan kemudian kendala ini tidak memberikan hasil yang optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkan terjadi sebaliknya
Atas dorongan Robert H. Jakson, Hakim Agung pada Mahkamah Agung Amerika Serikat, telah dilaksanakan survey oleh The American Bar Association (ABA) mengenai penegakan hukum. Jakson juga memperingatkan kepada ABA bahwa penegakkan hukum yang efektif hanya merupakan salah satu tujuan peradilan pidana dan perlindungan atas hak asasi individu adalah tujuan yang sama pentingnya.
Alfred Blumstein, sebagai ahli manajemen menerapkan pendekatan manajerial dengan bertopang pada pendekatan system terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sejak saat itu dalam penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat diperkenalkan dan dikembangkan pendekatan system sebagai pengganti pendekatan hukum dan ketertiban. Melalui pendekatan ini, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendiri melainkan masing-masing merupakan unsure penting dan berkaitan satu sama lain.
Perkembangan pendekatan system ini di Amerika Serikat dan di Beberapa Negara Eropa menjadi model yang dominan dengan menitikberatkan pada “the administration of justice” serta memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam penegakkan hukum.
Di dalam uraian perkembangan pendekatan system dalam peradilan pidana kita perlu mengamati pendapat Steenhuis tentang pendekatan fungsional dalam hukum pidana. Pendekatan ini bersumber pada teori “kontrak social” yang dikaitkan dengan tujuan hukum pidana.
Teori kontrak social mengemukakan: individu menyerahkan sebagian kebebasannya kepada Negara dengan tujuan kebebasannya dapat dilindungi oleh Negara.
Steenhuis menilai ada terdapat dua macam individu, yaitu
1)      The law abiding citizen (warga taat hukum) yang telah memberikan mandate kepada Negara untuk mempertahankan hukum pidana.
2)      The law breaker (warga pelanggar hukum) yaitu subjek dari penerapan hukum pidana yang memerlukan perlindungan terhadap kemungkinan tindakan penguasa.
Selanjutnya Steenhuis mengemukakan lebih jauh bagaimana pemerintah (Negara) sebagai wakil yang sah memperlakukan kedua macam individu tersebut dalam suatu Negara demokrasi (di Belanda).
Pertama, dilihat dari individu sebagai “warga pelanggar hukum”, tersangka, subjek hukum (undang-undang) acara pidana, maka kedudukan “warga pelanggar hukum” dikelilingi oleh banyak perlindungan. Kedua, dilain pihak, dalam kenyataannya hukum pidana tidak lagi mampu mengatasi kejahatan-kejahatan serius dalam masyarakat.
Berdasarkan kelemahan praktik penegakkan hukum (di Belanda), steenhuis menyimpulkan bahwa:
1)      Terdapat ketidakseimbangan antara tindakan yang diberikan pemerintah kepada seorang pelaku kejahatan dan terhadap seorang warga masyarakat yang justru taat kepada hukum.
2)      Penegakkan hukum tidak akan mencapai kemajuan jika dalam praktek peradilan, pelaku kejahatan sering diperlakukan dan diberi kedudukan yang lebih baik dibandingkan dengan bukan pelaku kejahatan atau warga masyarakat yang taat kepada hukum.

C.    Model-model Sistem Peradilan Pidana
1.      Dikotomi Sistem Peradilan Pidana
a.       Pendahuluan
Tulisan ini bertujuan menyampaikan informasi sekitar masalah dikotomi dalam system peradilan pidana yaitu sistem inkuisitur dan sistem akusatur dan perkembangan terakhir mengenai kedua system tersebut di Negara-negara yang menganut common law system.
b.      Asal-usul dan perkembangan sistem inkuisitur
Sistem ini berkembang didaaratan Eropa sejak Abad 13 - abad 19. Cara penyelidikan dan pemeriksaan dalam system ini dilakukan dengan cara rahasia. Tahap pertama yaitu penyidik meneliti apakah suatu kejahatan telah dilakukan kemudian melakukan identifikasi kepad pelakunya. Apabila sudah diketahui dan ditangkap, kemudian tahap kedua, memeriksa pelaku kejahatan tersebut, dalam tahap ini tersangka ditempatkan terasing, pemeriksaan tersangka dan para saksi terpisah dan dilakukan dibawah sumpah serta dicatatkan di BAP. Kepada tersangka tidak diberitahukan isi tuduhan serta kejahatan yang telah dilakukan. Salah satu tujuannya yaitu untuk memperoleh pengakuan. Khususnya untuk kejahatan berat, apabila tersangka tidak mengakui perbuatannya maka petugas pemeriksa memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan.
Setelah selesai, petugas pemeriksa akan menyampaikan BAP ke Pengadilan kemudian pengadilan akan memeriksa perkara tersangka hanya atas dasar hasil pemeriksaan. Selama pemeriksaan persidangan , tertuduh tidak boleh dihadirkan di persidangan dan tidak berhak mendapat pembelaan dan dalam kenyataannya persidangan dilaksanakan secara tertutup.
Apabila dilihat, penyelesaian perkara pidana pada masa itu sedemikian singkat dan sederhana, tetapi tidak tampak sama sekali perlindungan dan jaminan hak asasi seseorang yang tersangkut dalam perkara pidana.
Timbulnya gerakan revolusi Perancis mengakibatkan banyak bentuk prosedur lama dalam peradilan pidana dianggap tidak sesuai dengan perubahan iklim social dan politik semasa revolusi. Khususnya dalam bidang peradilan pidana dianggap tidak sesuai dengan perubahan iklim social dan politik semasa revolusi. Sehingga muncul system peradilan modern yang bernama the mixed type.
Gambaran model the mixed type yaitu, Tahap pemeriksaan hampir sama dengan tahap inkuisitur, penyidikan dilakukan oleh the public prosecutor. Dalam pelaksanan ini terdapat seorang investigating judge yaitu seorang pejabat yang ditunjuk untuk mengumpulkan bukti;. Pengambilan bukti dilakukan dengan dapat dihadiri oleh kedua pihak baik tersangka maupun jaksa yang terlibat dalam perkara. Pada akhir proses pemeriksaan pendahuluan atau sebelumnya, tertuduh dan penasehat hukum memperoleh hak yang tidak terbatas untuk meneliti berkas perkara.
 Setelah proses pemeriksaan pendahuluan, dilandaskan kepada system akusatur. Tahap ini dimulai dengan menyampaikan berkas perkara kepada public prosecutor yang harus menentukan apakah perkara akan diteruskan ke pengadilan. Peradilan dilakukan secara terbuka, kddua belah pihak hadir di persidangan dan memperoleh hak dan kesempatan yang sama untuk saling menajukan argumentasi dan berdebat. Pada prinsipnya, kedua bukti yang telah dikumpulkan oleh kedua belah pihak dihadirkan dipersidangan dan diuji kebenarannya. Dalam persidangan perkara, dipimpin oleh seorang hakim professional.
c.       Perkembangan terakhir dalam system peradilan pidana.
Dikotomi dalam system peradilan pidana yang telah berabad-abad sekarang ini tampaknya telah hilang ketajaman perbedaannya. Yang mana telah ditemukannya system campuran (the mixed type) dalam system peradilan pidana, sehingga batas pengertian antara system inkuisitur dan akusatur sudah tidak dapat dilihat lagi secara tegas. Untuk menghindar dari kesimpang siuran diatas, tampaknya kini di daratan eropa, terutama di Negara-negara yang menganut common law system, system peradilan pidana mengenal dua model system, yakni “the adversary model dan the non adversary model”.
Advesary model dalam system peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut:
1)      Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu sengketa “dispute” antara kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama dimuka pengadilan.
2)      Tujuan utama prosedur sebagaimana dimaksud pada butir 1 ialah sengketa yang timbul disebabkan timbulnya kejahatan.
3)      Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan dan adanya lembaga jaminan dan perundingan bukan hanya merupakan suatu keharusan melainkan merupakan suatu hal yang sangat penting.
4)      Para pihak memiliki fungsi yang otonom yang jelas, peran penuntut umum adalah melakukan penuntutan. Peran tertuduh adalah menolak atau menyanggah tuduhan.
Di lain pihak, Non-advesary model menganut prinsip bahwa:
1)      Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan berkesinambungan serta dilaksanakan atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presemption of guilt)
2)      Tujuan utama prosedur pada butir 1 diatas adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman dapat dapat dibenarkan karenanya.
3)      Penelitian terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak, oleh hakim dapat berlaku tidak terbatas dan tidak tergantung pada atau tidak perlu memperoleh izin para pihak.
4)      Kedudukan masing-masing para pihak antara penuntut umum dan tertuduh tidak lagi otonom dan sederajat.
5)      Semua informasi yang dapat dipercaya dapat digunakan guna kepentingan pemeriksaan pendahuluan ataupun di persidangan. Tertuduh merupakan objek utama dalam pemeriksaan.

2.   Dari sistem Inkuisitor ke Akusator
The right to remain silent atau hak untuk tidak menjawab pertanyaan atau hak untuk diam telah mengalami perkembangan ratusan tahun yang lampau di Inggris, dan sering merupakan pokok pertentangan antara dua system hukum acara pidana yaitu: sistem akusatur dan system inkuisitur. Kedua sistem tersebut dibedakan secara mendasar dalam metode utama penyelidikan, penyidikan dan dalam proses peradilan, yaitu meletakkan beban pembuktian pada tertuduh untuk membuktikan bagi kepentingan dirinya. Pengadilan Common Law tidak menghendaki metode ini dan kemudian mengutamakan bukti-bukti yang bebas dan mandiri. Sebaliknya, pengakuan yang merupakan unsure pokok dalam inkuisitur digunakan atau dianutoleh pengadilan Agama. Dalam pertentangan kedua system ini ternyata system common law telah berhasil mempertahankan dan menyelamatkan system pemerintahan yang demokratis dan mempertahankan penggunaan system akusatur seperti halnya dilakukan oleh Negara Amerika Serikat yang dicantumkan di konstitusi negaranya.
Namun di Negara Inggris, irlandia Utara dan Singapura dalam konstitusinya menolak “hak untuk tidak menjawab” dengan tujuan agar dapat mengendalikan kejahatan, memaksa tersangka mengaku, dan dengan sendirinya akan mengefektifkan penuntutan.
Pembatasan penggunaan hak tersebut akan menggeser system peradilan pidana dari system akusatur yang menitikberatkan pada pembuktian dengan saksi dan bukti nyata, kepada system inkuisitur yang menitikberatkan pada proses interogasi tersangka untuk memperoleh bukti atas kesalahannya.
Dalam konteks KUHAP Nomor 8 tahun 1981, memang hak tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Undang-undang ini sehingga perubahan yang terjadi di tiga Negara tersebut, terutama di Inggris tidak akan membawa dampak yang berarti bagi perkembangan Hukum Acara Pidana di Indonesia.

3.      Sistem Inkuisitor dan Akusator dalam Konteks Sistem Hukum civil Law dan Common Law
Nico Jorg, Stewart Field, dan Chrisje Brants telah membahas secara luas system inkuisitor dan akusator dalam konteks system hukum civil law dan common law yang diwakili oleh system peradilan pidana di belanda, di Inggris, dan di wales. Asumsi mereka bahwa, bahwa kedua system tersebut dapat saling bersamaan dan bahkan saling melengkapi dalam praktik peradilan pidana.
Bertolak pada perbedaan cara kerja kedua model system peradilan (inkuisitor dan akusator), dapat dikatakan bahwa penemuan kebenaran (truth finding) dan kejujuran (fairness) merupakan kata kunci yang sangat penting, khas, dan tujuan dari system peradilan pidana. Sekalipun ketiga unsure tersebut sama pentingnya, akan tetapi sering terjadi konflik dan pada saat yang sama menuntut legitimasi dari kedua model tersebut.
Bagi system peradilan pidana di Indonesia, sampai saat ini penilaian ahli hukum Indonesia, bahwa system peradilan Indonesia menggunakan “mixed sistem” yaitu pada tahap investigasi merujuk pada system inkuisitor tetapi pada tahap persidangan digunakan system akusator. Apakah penilaian tersebut sesuai dengan kenyataan dalam praktik peradilan, diperlukan penelitian yang mendalam dari ahli hukum dan praktisi hukum.
Damaska mengupas lebih dalam mengenai system peradilan pidana dalam konteks system hukum civil law dan common law dengan menggunakan tolok ukur yang ia sebut sebagai tiga unsur penting dalam proses peradilan pidana yaitu, Negara (kekuasaan, akuntabilitas, dominasi, asumsi, dan tujuan) yang dikaitkan dengan dua unsure penting dalam proses peradilan pidana, yaitu proses pra-sidang dan tahap persidangan.


D.  Tahap Kritis Dalam System Peradilan Pidana
1.      Pendahuluan Asas Persamaan dimuka Hukum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Dengan dikeluarkannya kitab Undanh-undang Hukum Acara Pidana (UU No 8/1981), merupakan kehendak para pembuat undang-undang untuk menanamkan Identitas Pancasila dalam tubuh peraturan perundang-undangan di Indonesia bukanlah sekedar tuntutan emosional dan sikap tidak simpati terhadap system hukum liberal atau sosialis melainkan sudah seharusnya merupakan tuntutan Negara Republik Indonesia sebagai Negara Hukum dengan latar belakang etnis, geografis, social, ekonomi, dan politik yang berbeda dengan Negara yang sudah maju, khususnya Negara barat.
Terjadinya musibah dalam kehidupan hukum di Indonesia pada akhir-akhir ini, seperti peradilan terhadap para hakim dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat pelaksanaan penegakkan hukum, talpaknya tidak harus selalu dikembalikan kepada masalah mentalita para pelaksana penegak hukum (sebagaimana lazimnya dilontarkan masyarakat) melainkan juga ada kemungkinan disebabkan karena memang nilai keadilan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini sudah jauh dari memadai, bahkan bertentangan dengan pendapat dan rasa “keadilan” masyarakat kita.
Timbulnya penemuan hukum baru dan pembentukan peraturan perundang-undangan baru terutama sejak pemerintah orde baru cukup mengembirakan dan merupakan titik cerah dalam kehidupan hukum di Indonesia. Perkembangan terakhir dalam kehidupan hukum acara pidana di Indonesia ditandai dengan keberhasilan DPR RI mengesahkan rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pengganti HIR. Dalam KUHAP secara mendasar terdapat 10 asas yang merupakan pedoman penyusunannya yakni, sama kedudukannya dihadapan hukum, praduga tak bersalah, pemeriksaan dan penyidikan secara formal, adanya rehabilitasi, cepat sederhana dan biaya ringan, dll.
Apabila diteliti dari kesepuluh asas dalam KUHAP, tampaknya bahwa KUHAP lebih menitik beratkan kepada perlindungan atas harkat dan martabat tersangka atau terdakwa. Sembilan diantaranya demi kepentingan hak asasi tersangka, dan asas kesepuluh diperuntukan bagi pelaksanaan pengambilan keputusan pidana terutama pengawasan bagi terpidana di lembaga pemasyarakatan.
Dari keadaan ini jelas ada konsekuensinya, salah satunya adalah bahwa secara negative KUHAP cenderung akan sangat menghambat kelancaran tugas aparat penegak hukum (kepolisian) disatu pihak dan mengurangi dukungannya terhadap usaha menempatkan hukum diatas segala kepentingan dan nilai yang tumbuh didalam masyarakat dilain pihak. Namun demikian, secara positif dapat dikatakan bahwa dengan KUHAP ini maka aparat penegak hukum (kepolisian) tidak akan sewenang wenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, peradilan terhadap tersangka atau terdakwa seperti yang terjadi selama ini.

2.      Asas Persamaan di muka hukum dan Konteks Pasal 31 KUHAP
Guna menguji sejauh manakah “asas persamaan di muka Hukum” ini benar dipertahankan dan dianut dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan memusatkan perhatian pada pasal 31 KUHAP yang mengatur perihal penangguhan penahanan. Pasal 31 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
(1)               Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
(2)               Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Penjelasan resmi pasal 31 menjelaskan yang dimaksud dengan “syarat yang ditentukan “ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Masa penangguhan penahanan seorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk “masa status tahanan”. Dari bunyi pasal 31 diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1)      Walaupun tindakan penahanan dapat dilakukan pada tiap tingkatan pemeriksaan sebagaimana tersebut dalam pasal 20 sampai dengan 30 KUHAP, namun demikian pada tiap tingkat pemeriksaan pun, penahanan itupun dapat dimintakan penangguhannya oleh tersangka atau terdakwa.
2)      Tindakan penangguhan penahanan oleh penyidik, penuntut umum atau hakim, hanya dapat diberikan atas permintaan tersangka atau terdakwa.
3)      Pasal 31 menyediakan 2 (dua) alternative pilihan bagi tersangka/terdakwa dalam masalah penangguhan penahanan dapat dilakukan dengan jaminan uang atau orang. Atau penangguhan penahanan dapat dilakukan tanpa jaminan uang atau jaminan orang.
Dapat disimpulkan pula dalam pasal 31 KUHAP ini hanyalah terdakwa atau tersangka yang dapat memberikan atau mengadakan jaminan uang ataupun orang yang akan menikmati manfaat dari ketentuan pasal 31 dibandingkan dengan tersangka atau terdakwa yang tidak memiliki kemampuan sebagaimana tersebut diatas.
Read More..