BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai salah
satu unsur esensial pembentuk Negara, tanah memegang peran vital dalam
kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung Negara yang bersangkutan,
lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di Negara yang rakyatnya
berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.
Untuk mencapai
tujuan itu, diperlukan campur tangan kuasa yang competent dalam urusan tanah,
khususnya mengenai lahirnya, berpindahnya dan berakhirnya hak milik atas tanah.
Di lingkungan
hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepala berbagai persekutuan hukum,
seperti kepala atau pengurus desa. Sedangkan di lingkungan BW oleh seorang
pejabat yang bertugas mengurus hal balik nama dari tanah eigendom, tanah
erfpachtdan lain-lain (sekarang kepala kantor kadaster: menurut PP 10/1961 jo
siaran pemerintah No.94 tahun VI tanggal 6-12-1961: balik nama dilakukan di
hadapan notaries atau camat yang bersangkutan).
Di dalam hukum
tanah kita membahas yang berkenaan dengan Hak hak suatu suku seperti hak Purba,
hak ulayat, dan hak pertuanan. Sebelum dibahas lebih lanjut kita harus
mengetahui pengertian dan masing-masing cirinya.
A. Hak
Purba
Hak purba ialah hak yang dimiliki
oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa
saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya
dalam lingkungan wilayahnya.
Ciri-ciri pokok yang terlihat
dengan jelas di luar jawa adalah:
1. Hanya
persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas
mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaannya.
2. Orang
luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa persekutuan
tersebut ; tanpa izin itu dia dianggap melakukan pelanggaran.
3. Warga
sepersekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan
restriksi: hanya untuk keperluan somah/ brayat/keluarganya sendiri, jika
dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain, ia dipandang sebagai orang asing,
sehingga harus mendapat izin terlebih dahulu.
Sedangkan orang
asing hanya diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan izin
Kepala Persekutuan hukum di sertai pembayaran upeti, mesi (recognitie,
retributive), kepada persekutuan hukum.
4. Persekutuan
hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayahnya, terutama
yang berupa tindakan melawan hukum, yang merupakan delik.
5. Hak
purba tidak dapat dilepaskan, dipindah-tangankan, diasingkan untuk selamanya.
6. Hak
purba meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak
perorangan.
B. Hak
Ulayat
Hak purba
persekutuan hukum diakui dengan tegas di dalam UUPA (UU No. 5/1960/104). Dalam
pasal 3 dinyatakan: “Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan (hukum)
lain yang lebih tinggi”.
Tentang
pelaksanaan Hak Ulayat itu dijelaskan dalam pasal 5 UUPA sebagai berikut: Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur
yang berdasarkan hukum agama”.
Ini berarti : berdasarkan
hak layat yang bersumberkan hukum adat ini, masyarakat hukum yang
bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak guna usaha yang hendak dilakukan oleh pemerintah.
bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak guna usaha yang hendak dilakukan oleh pemerintah.
Jika pemerintah
misalnya hendak melaksanakan pembukaan hutan secara besar-besaran dan teratur
dalam rangka proyek-proyek besar untuk penambahan bahan makanan dan
transmigrasi, maka hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tidak boleh
dijadikan penghalang. Jika hak ulayat dari masyarakat hukum itu dapat
menghambat dan menghalangi sesuatu, maka kepentingan umum akan dikalahkan oleh
kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan. Ini tidak dapat dibenarkan,
dengan kata lain kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk terhadap
kepentingan nasional dan Negara.
Namun pada
dewasa ini Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional
dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah
diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk
menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional
bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut
tanah ulayat. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang
memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3
UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1).
2. Kriteria
dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat
hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap
tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
B. Rumusan
Masalah
Bagaimana Hukum Adat Tanah yang
berlaku atau terdapat di beberapa daerah?
C. Tujuan
Makalah
Tujuan yang ingin dicapai yaitu
untuk menambah wawasan dan menambah pengetahuan tentang hukum adat tentang
tanah di daerah-daerah di Indonesia.
D. Manfaat
Manfaat yaitu, sebagai mahasiswa
yang paham akan hukum, kita tidak boleh hanya berpatokan pada sumber hukum yang tertulis saja, kita harus
mengetahui adat yang terdapat di dalam masyarakat dan yang berkembang di
masyarakat. Jadi, kita dapat mengetahui dimana hukum adat diperlukan dalam
menyelesaikan suatu perkara sepanjang belum ada penyelesaiannya secara normatif
yang tertulis.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Hukum
Adat Tanah di Ternate
Di ternate
(Maluku Utara) telah adanya suatu Peraturan Daerah yang mengutamakan hak-hak
bagi masyarakat adat ternate seperti contohnya
Kompleks bangunan kesultanan ini terletak pada areal tanah seluas 44.560
M2 (Sesuai surat keterangan dari Sub Dit Agraria Ternate, No : 11/SDA/ PHT/ Ket/
1973). Tanah ini berstatus tanah adat, dan terletak dikampung soa sio kecamatam
Kota Ternate. Tetapi pada kenyataannya belum adanya suatu ketentuan hukum yang
pasti untuk menjamin hak-hak ulayat bagi masyarakat ternate, karena kemarin
pada bulan maret 2009 baru disebutkan bahwa substansi hukum yang memuat hak
tanah adat ternate baru berupa Rancangan
Peraturan Daerah (Ranperda) Perlindungan Hak-Hak Adat, legislasi DPRD Kota
Ternate melakukan pembahasan bersama dengan Dewan Adat Ternate. Anggota
legislasi DPRD Kota Ternate Gazali Tuahuns menjelaskan Dewan Adat Ternate (DAT)
dilibatkan karena masukan-masukan mereka sangat dibutuhkan. “Karena ranperda
yang dibahas adalah ranperda perlindungan hak adat makanya mereka dilibatkan,
sehingga nantinya kalau ada kekurangan dari isi ranperda yang telah disusun
maka bisa dirubah,” katanya.
Menurutnya, yang
paling krusial dalam ranperda hasil inisiatif dewan itu adalah perlindungan
hak-hak adat, salah satunya tanah adat. “Tanah adat harus dilindungi dengan
Perda,” katanya. Dalam pembahasan itu, dewan adat Ternate, kata dia,
mengusulkan agar kegiatan-kegiatan Kesultanan Ternate mendapat anggaran dari
APBD Kota Ternate. Selain itu, dewan adat juga mengusulkan kendaraan
operasional untuk kesultanan. “Masukan mereka akan dibahas dengan eksekutif,”
katanya.
“Sejarah Hukum
Adat dan Lingkungan Hukum Adat Moloku Kie Raha” (Maluku Utara), masyarakat adat
di Maluku Utara mempunyai pranata kelembagaan adat yang terdiri atas Kolano
(Sultan) sebagai pemimpin, Kedaton sebagai pusat pemerintahan adat dan budaya
serta Balakusu se Kano-kano sebagai rakyat, telah hidup damai sejak dahulu kala
karena didasarkan pada sandaran hukum adat yang disebut Falsafah “Jou se Ngofa
Ngare”. Drs. Samsul Widodo, MA (Direktur Kawasan Kawasan khusus dan Daerah
Tertinggal Bappenas) berfokus pada aspek Perencanaan dan Penyusunan Program
Berbasis Perdamaian (Peran Masyarakat Adat Dalam Perumusan Kebijakan).
Dikemukakan
bahwa peran strategis kelembagaan adat tidak sekedar melestarikan budaya
nasional melainkan juga ikut mendorong penguatan “kearifan lokal” sebagai modal
sosial pembangunan (katalisator dalam masyarakat, instrumen pelestarian
lingkungan serta menciptakan harmoni dan integrasi masyarakat dengan berbagai
hukum adatnya. Herman Oesman, Msi. (Dosen UMMU Ternate) menambahkan informasi
seputar Masyarakat Adat dan Pembangunan di tengah Komodifikasi atas Tanah.
Menurutnya, paradigma pembangunan dalam bentuk industrialisasi hutan, laut juga
lahan pertanian, membuahkan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat dan
pendukung tradisi. Tanah telah menjadi komodifikasi bagi pembangunan, yang
berpotensi meminggirkan hak-hak masyarakat adat. Pada posisi ini, harapan
munculnya pertemuan antara tradisi dan pembangunan untuk melahirkan landasan
dan prinsip keadilan serta perdamaian, ternyata tidak pernah terwujud.Di bagian
akhir, King Faisal Sulaiman, SH dari LBH Malut menggunakan contoh kasus
sengketa agraria dimana terdapat banyak tanah adat dan sejumlah hak ulayat
lainnya yang digarap dan digunakan untuk kepentingan pembangunan daerah secara
sepihak dan menimbulkan kerugian secara materil bagi masyarakat adat.
Contoh Tanah
Ulayat faktanya telah tersingkirikan secara sistematis. Masyarakat adat bahkan
tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting berkaitan dengan
esksitensi hak-hak ulayat tersebut. Konflik masyarakat adat Ternate dengan
pemerintah yang tak kunjung usai hingga sekarang terkait penggunaan tanah adat
untuk kepentingan perluasan bandara Sultan Babullah, merupakan salah dari
sekian banyak persoalan hak ulayat yang terdapat di wilayah Kesultanan Ternate.
Kesimpulan akhir dari Semiloka ini ialah: Pertama, terpinggirnya masyarakat
adat dari gempita kemajuan modernitas tidak terbatas pada hak-hak mereka
terhadap tanah atas nama pembangunan tetapi lebih dari itu yaitu hilangnya
identitas lokal dan rasa percaya diri mereka. Kedua, ancaman bagi kelembagaan
adat adalah dapat digunakan sebagai alat politik kekuasaan serta munculnya
“ego” kedaerahan yang berdampak pada konflik horisontal. Ketiga, tantangan ke
depan adalah rendahnya kapasitas masyarakat adat (peran inisiasi, bukan
mobilisasi), serta penyesuaian sistem dan budaya adat dengan perkembangan
jaman.
2.
Hukum
Adat Tanah di Aceh
Orang Aceh
cenderung tidak menggunakan istilah hak ulayat yang umum dipakai di seluruh pelosok
Indonesia . Tetapi, pada prakteknya, hak bersama atas tanah di Aceh adalah
serupa dengan hak ulayat. Penentuan untuk izin pemakaian tanah ini biasanya diputuskan
oleh geuchik (dan kadang-kadang melalui mukim). Komunitas mempunyai hak untuk
mengalokasikan tanah komunitas kepada warga desa atau orang luar, menyetujui
peralihan tanah di daerah komunitas kepada orang luar, dan menentukan (atau
mempengaruhi) sifat pemakaian tanah. Dalam teori, komunitas juga dapat
mengambil alih tanah dari penduduk untuk kepentingan komunitas. (El Hakimy,
T.I, Kepemilikan Tanah di daerah pedesaan di Aceh, di Desa Leupung di Distrik
Aceh Besar, 1980,p.18-20, 39,44).
Sedangkan
menurut Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi NAD,
Pasal 1 butir ketujuh menyebutkan, hak ulayat adalah tanah yang berada dalam
wilayah Mukim yang dikuasai dan diatur oleh hukum adat. Tetapi dalam kenyataannya,
menurut Wakil Direktur Bidang Internal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh,
Kamaruddin,SH, di Aceh sebutnya, tidak ada tanah yang disebut dengan tanah
adat. Kecuali di beberapa daerah yang masih memiliki struktur masyarakat adat. Akan
tetapi, ada sejumlah tanah yang memang mirip dengan apa yang disebut dan dapat
dianalogikan sebagai tanah adat/ hak ulayat. Karena dikuasai, dikelola dan
hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan bersama oleh komunitas yang
bersangkutan dalam satu desa (gampong).
Disebutkan
T.I.El-Hakimy, tanah dengan hak seperti ini di Aceh dikenal sebagai Tanoh Hak
Kullah. Batas-batasnya ditentukan sejauh dapat terjangkau perjalanan ke arah
hulu dalam sehari pulang pergi, dan ke hilir atau ke laut sejauh dapat
terjangkau oleh pukat pantai. Dapat juga ditandai oleh batas-batas alam seperti
puncak gunung, jurang, sungai, dan perjanjian perbatasan dengan mukim tetangga.
Berdasarkan wujudnya, tanah ulayat menurut adat Aceh dapat berupa:
1.
Tanoh
rimba, tanah hutan belantara yang berada di pedalaman dan belum dikerjakan
orang.
2.
Tanoh
uteuen, tanah hutan-hutan tertentu dan kebanyakan diberi nama menurut
jenis-jenis tumbuhan di atasnya.
3.
Tanoh
tamah, tanah hutan yang sudah pernah dikerjakan untuk lading dan di atasnya
sudah tumbuh tunas-tunas kayu (tarok) yang kadang-kadang dijadikan kayu api, di
samping juga dia dibedakan dengan kayu-kayu beuluka (kayu belukar)
4.
Tanoh padang , tanah tempat ditumbuhi
kayu-kayuan, tetapi kebanyakan ditumbuhi alang-alang atau jenis rumput-rumput lain
di dataran rendah yang belum seluruhnya digarap. Biasanya berada di sekeliling
sawah-sawah gampong dan dijadikan tempat untuk hewan memakan rumput.
5.
Tanoh
paya (tanoh bueng), tanah rendang yang digenangi air secara tetap, serta
ditumbuhi semak belukar. Bila letaknya di daerah dekat pantai disebut tanoh
suwak (hutan rawa)
6.
Sarah,
tanah yang terdapat pada aliran sungai yang dangkal di bagian hulu dengan
dataran rendah yang subur
7.
Sawang,
tanah dangkalan sungai yang menjorok ke dalam daratan
8.
Tanoh
jeued, tanah yang terbentuk karena bawaan Lumpur oleh arus sungai, baik di
tengah sungai berupa pulau ataupun di tepi sungai berupa ujung yang menjorok ke
tengah sungai.
Hak tersebut
biasanya tidak hanya digunakan untuk tanah tempat tinggal, tetapi juga tanah
untuk sawah dan kebun. Hak ini sebenarnya, serupa dengan hak milik tanah tetapi
komunitas local mempunyai pengaruh yang lebih besar atas cara bagaimana tanah tersebut
dapat digunakan dan dialihkan.
Pada umumnya, di daerah pedesaan hak
milik adat:
a.
Hanya
dapat dijual bila terlebih dahulu ditawarkan kepada tetangga (dan mungkin
anggota komunitas lainnya)
b.
Tidak
dapat dijual kepada orang dari luar komunitas (walaupun dapat disewakan
berdasarkan persetujuan warga)
c.
Tunduk
pada hak untuk mendapatkan akses, yang dimiliki oleh tetangga dan anggota
komunitas lainnya
d.
(secara
teori) dapat diambil alih oleh komunitas untuk kepentingan komunitas. Disebutkan
dalam penelitian di lapangan, pembatasan hak tersebut lebih sering dalam bentuk
interaksi longgar antara warga dan geuchik, daripada sebagai aturan tetap yang
berlaku dalam setiap keadaan.
Ada beberapa cara untuk memperoleh tanah
hak milik adat:
1. warisan, hibah atau pembelian, atau
2. membuka dan mengusahakan tanah di
dalam wilayah adat
Di daerah
tertentu, membuka dan mengusahakan tanah hanya akan menimbulkan hak guna usaha,
yang berubah mejadi hak milik melalui warisan. Dalam buku Perwalian, Kewarisan,
dan Tanah di Aceh Paska-Tsunami, E.Harper, IDLO,h.82 yang mengutip Pakar Hukum
El Hakimy menyebutkan, hak guna usaha tanah untuk pertanian (useuha) timbul
apabila mengusahakan tanah secara terus menerus selama sekurang-kurangnya enam
bulan. Dalam keadaan tertentu, anggota komunitas memerlukan persetujuan geuchik
untuk memulai mengusahakan tanah. Dikatakan juga, hak guna usaha ini cenderung digabungkan
dengan hak milik (atau dianggap sebagai hak milik). Kebanyakan kasus di Aceh,
anggota komunitas tidak memerlukan izin dari geuchik untuk membuka dan
mengusahakan tanah adat. Komunitas akan mengakui hak miliknya setelah periode tertentu,
sepanjang tanah itu digunakan terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Dan
dalan keadaan tertentu, orang luar juga dapat menerima izin dari geuchik untuk
membuka dan mengusahakan tanah adat.
Walaupun mekanisme adat untuk memperoleh
hak milik tanah semacam ini diakui dalam Undang-undang No.5/1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, penting untuk dicatat, bahwa hak-hak adat
melalui membuka dan mengusahakan tanah belum tentu sah apabila tanah yang
bersangkutan
didefinisikan sebagai tanah negara.
Dalam pasal 6 disebutkan :
a.
sudah
dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah
menurut UU Pokok Agraria.
b.
merupakan
bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi
pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang
berlaku.
hak ulayat suatu masyarakat hukum adat harus
dilindungi dan diselaraskan sesuai dengan perkembangan zaman. Apabila hak
ulayat dilepaskan oleh masyarakat hukum adat, maka harus dilakukan penyerahan
oleh masyarakat hukum adat yang dikhususkan untuk keperluan pertanian atau
keperluan yang memuat hak guna usaha atau hak pakai. Hak ulayat suatu
masyarakat adat tidak boleh dirampas begitu saja atau dimiliki oleh suatu
perseorangan atau instansi,baru sahnya penguasaan atas hak ulayat apabila
dilakukan penyerahan oleh masyarakat adat. Bagi masyarakat yang memiliki sengketa
hak ulayat di Aceh, dapat meminta bantuan LBH Banda Aceh.
3. Hukum
Adat tanah di suku Dayak Benuaq
Hutan dan segala
isinya bagi Suku Dayak Benuaq merupakan benda/barang adat. Itu sebabnya
pengelolaannya harus berdasarkan system adat istiadat. Pada zaman Orde Baru
Suku Dayak Benuaq mengalami zaman yang paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi
mereka disingkirkan dari orang Benuaq dengan berdalih pada Undang-Undang
terutama pada Undang-Undang Agraria. Sehingga rejim Orba dengan mudah memisahkan
Suku Dayak Benuaq dengan sumber satu-satu penghidupan mereka saat itu, ditambah
lagi dengan disebarnya aparat keamanan dan pertahanan untuk menjadi tameng perusahaan-perusahaan
HPH. Namun menjadi keanehan bahwa Orang Dayak (Benuaq)lah yang menyebabkan
degradasi hutan besar-besaran sebagai dampak system perladangan bergulir, yang
disebut-sebut sebagai perladangan berpindah.
Berdasarkan ciri/status hutan
dapat dibedakan atas :
a. Urat
Batekng
b. Simpukng
Munan (Lembo)
c. Kebon
Dukuh
d. Ewei
Tuweletn
e. Lati
Rempuuq
f.
Lati Lajah
Berdasarkan suksesi hutan dapat
dibedakan atas:
a. Bengkar
Bengkalutn – Bengkaar Tuhaaq (Hutan Primer)
b. Bengkaar
Uraaq (Hutan Sekunder Tua; 15-35 tahun)
c. Urat
Batekng / Batekng (Hutan Sekunder Muda ; 10-15 tahun)
d. Balikng
Batakng (7-10 tahun)
e. Kelewako
(2-3 tahun)
f.
Baber (1-2 tahun)
g. Umaaq
(huma/ladang) 0 – 1 tahun
4.
Hukum
Adat Tanah di Papua
Dalam lingkup
Papua berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (pasal 43, ayat 1
dan 2), Pemerintah provinsi wajib mengakui, menhormati, melindungi, memberdayakan
dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan
hukum yang berlaku yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak
peorangan para warga masyarakat hukum adat. Pelaksanaan hak ulayat sepanjang
kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat
setempat dengan menhormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh
pihak lain secara sah menurut tatacara dan ketentuan yang berlaku (ayat 3).
Penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat diatur pemerintah melalui
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999, tentang pedoman
penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Peraturan ini
menjelaskan bahwa pemerintah mengakui adanya hak ulayat dari masyarakat hukum
adat sepanjang kenyataannya masih ada. Namun, Sulle pun mengakui jika selama
ini implementasi aturan mengenai pengakuan hak adat itu belum nampak dalam
kinerja pemerintah daerah, apalagi jika dikaitkan dengan masalah investasi.
Secara
tradisional struktur penguasaan tanah di Papua dapat dibedakan menjadi 2 jenis,
yaitu: 1) Tanah ulayat (milik bersama) dari beberapa marga, suku, keret; 2)
Tanah adat (milik bersama/peorangan). Selanjutnya, ada 3 hal yang terkandung
pada penguasaan tanah secara tradisional: 1) Tanah merupakan karunia Tuhan utk
memenuhi kebutuhan hidup; 2) Tanah sebagai tumpah darah; 3) Tidak ada tanah
yang tidak bertuan.
Secara khusus,
Papua belum mempunyai Peraturan Daerah tentang perlindungan hak-hak masyarakat
adat dan supaya lewat forum ini bisa diperhatikan. Masyarakat tidak boleh
menjual tanah sendiri-sendiri. Diharapkan pemerintah dan perusahaan investor
dapat memperhatikan hak-hak masyarakat, misalnya: perusahaan kelapa sawit,
coklat, tambang, dan sebagainya. Hutan kita sudah banyak yang rusak karena penebangan
kayu yang dapat ijin pemerintah dan illegal logging. Jangan karena uang lalu
menyerahkan haknya kepada pemerintah dan investor. Harus ada membuat MOU
(perjanjian) antara masyarakat dan investor, yang mana mulai dari anak kecil
hingga orang dewasa dapat mengolah hasilnya kekayaan alam dan mempunyai hak
disitu.
Di tanah Papua
dengan masyarakat dan hukum adat yang beragam harus kita atur baik dan membela
hak secara bersama-sama. Dalam manifesto No. 10 menyatakan bahwa kita punya hak
yang sama. Jika perusahaan masuk marilah kita duduk bersama. Tidak boleh,
ketika pemerintah tidak bisa menangani permasalahan lalu turunkan aparat.
Diharapkan adanya perhatian dari pemerintah dan investor. Mengenai otoritas
masyarakat adat, harus dilihat secara baik kewenangan dan hak masyarakat adat
dan yang mana kewenangan pemerintah. Kalau mengacu pada UUPA tahun 1960, Kepala
Desa mempunyai otoritas tetapi tidak dilaksanakan secara baik. Contohnya kasus
di komunitas Prafi dan Oransbari. Tanah dijual untuk kebun kelapa sawit dan
cokelat, yang sampai hari ini masih bermasalah. Masyarakat yang membela haknya
diperlakukan secara kasar. Masalah pertanahan di Manokwari karena belum diatur
oleh pertanahan (BPN) dan dari adat.
Ketua Dewan Adat
Papua wilayah III Mnukwar, Barnabas Mandacan pada kesempatan yang sama
menjelaskan bahwa harus ada koordinasi antara pemerintah dan DAP dalam
pelepasan hak atas tanah, agar pemilik bisa tinggal dengan nyaman dan aman.
Masyarakat yang mau jual tanah harus lapor kepada DAP untuk mendapatkan Surat
Pelepasan Tanah. Tidak boleh menerima investor secara pribadi, nanti kalau
sudah ada masalah baru lapor kepada dewan adat. Banyak status investor sampai
hari ini masih kabur. “Pemerintah jangan maik kasar, hanya memberikan izin,
tetapi tidak mau bertanggung jawab jika ada masalah antara masyarakat adat
dengan investor”, tegas Barnabas.
Barnabas pun
mengingatkan bahwa bicara tentang tanah, tanah itu adalah saya sendiri dan
tanah tidak bisa dijual dan saya juga tidak bisa jual sebagian tubuh saya.
Dengan demikian tanah dalam bentuk apapun tidak bisa dijual, siapa yang jual
tanah, dia tidak akan hidup lama kecuali ada penggantian dengan pihak-pihak
lain. Jika yang sudah menjual atau punya sertifikat nasional, harus berhubungan
dengan dewan adat setempat disini, supaya kuat. Kita belum terlambat, perlu
dilakukan segera bentuk panitia dari pemerintah, LSM, untuk meneliti dan
mengidentifikasi kemudian berikan pada seminar hasil penelitian baru pemetaan
dan daftarkan sebagai hak masyarakat adat ke pemerintah sehingga tidak bisa
diganggu gugat. Selama ini belum ada pemetaan hak adat oleh karena itu banyak
masalah.
“Pemilik tanah
beli tanah dari orang asing warga Belanda sudah sejak lama dan memiliki bukti
jual beli penyerahan hak atas tanah. Namun, sekarang ada masyarakat adat
mengklaim pemilik tanah adat tersebut dan mengatakan Belanda merampas hak
masyarakat adat. Pemilik tanah pernah mendaftarkan tanahnya ke BPN tetapi tidak
pernah mengeluarkan sertifikat. Ini yang kacau.” Terang Mandacan. Sulle dari BPN
Manokwari pun menambahkan bahwa jika harus ada pelepasan tanah maka adakan
penelitian dulu dan mempertimbangkan manfaatnya. Jangan sampai terlambat dan
menyesal belakangan ketika sudah habis. Kalau sudah jual harus memiliki surat
pelepasan sebagai bukti, supaya jika diproses bisa kuat. Mau jual atau beli itu
tergantung kesepakatan dan diatur undang-undang. Jika sudah terlanjur
dilepaskan itu juga dilindungi UU. Mengenai kekuatannya ada lembaga yudikatif
yang memutuskan dengan pengkajian. Hak ulayat yang saya maksud adalah hak
wilayah atau hak komunal dan hak adat adalah hak pribadi yang telah dibagi
milik perorangan. Bisa juga jadi milik bersama misal bapak kepada anak-anaknya.
Dalam hak komunal terdapat hak adat.
Masyarakat Papua
memiliki peluang untuk memperkuat dan menegakkan hak adat atas tanah yang
menjadi mandate UU Otsus No 21 tahun 2001, antara lain disebutkan Pemerintah
wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan
hak-hak masyarakat adat, termasuk hak ulayat dan hak perorangan warga yang
bersangkutan. (Pasal 43) Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat
yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tata cara dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Pemetaan Partisipatif merupakan sebuah alat untuk membuktikan hak-hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alamnya. Disamping itu, sebagai media penyelesaian sengketa dan media perundingan yang berhubungan dengan klaim atas tanah, serta dapat digunakan dalam merencanakan pembangunan di wilayah masyarakat setempat.
Pemetaan Partisipatif merupakan sebuah alat untuk membuktikan hak-hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alamnya. Disamping itu, sebagai media penyelesaian sengketa dan media perundingan yang berhubungan dengan klaim atas tanah, serta dapat digunakan dalam merencanakan pembangunan di wilayah masyarakat setempat.
5.
Hukum
Adat Tanah di Toraja
Hukum Adat di
Tanah Toraja telah diatur oleh beberapa lembaga yang diyakini oleh masyarakat
toraja itu sendiri yang dinamakan Kombongan. Kombongan sebagai pilar demokrasi
dan sebagai wadah yang mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan
masyarakatnya. Sejak To Banua Puan, maka salah satu ciri yang mendasar dalam
komunitas adalah musyawarah yang dinamakan Kombongan.
Pada saat ini Kombongan tersebut
sudah melembaga dari generasi ke generasi. Semboyan Kombongan yaitu “Untesse
batu mapipang” artinya dapat memecahkan batu cadas yang
mempunyai makna bahwa apapun dan bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan
dapat merubah, menghapus atau membuat aturan adat yang baru. Hasil Kombongan
setelah disahkan merupakan adat.
Prinsip tersebut sudah membudaya
disetiap insan Toraja sehingga dimanapun mereka berada di seluruh Nusantara
hidup berkelompok dan bermusyawarah tetap dipertahankan. Motto, “Kada
Rapa dan Kada Situru” (kesepakatan dan persetujuan) yaitu :
·
Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan
·
Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang
·
Kombongan Karopi dalam tiap Karopi
·
Kombongan Saroan dalam kelompok basis di bawah
Karopi
Kombongan
kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung),
kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan memusyawarahkan aturan-aturan
yang menyangkut antar Lembang. Kombongan tersebut sesuai tingkatan dan
urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja di Tana Toraja atau di
luar Tana Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka kombongan tersebut
dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing kelompok jadi berlaku
demokrasi perwakilan.
Kombongan
kalua sang lembangan, kombongan yang tertinggi dalam wilyah adat
misalnya Sang Nanggalan. Dilakukan setiap tahun atau apabila ada hal yang
penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka To Parenge bersama pemuka
adat dan masyarakat. Mekanisme dalam persidangan sangat terbuka dan bebas
dimana tiap peserta bebas mengeluarkan pendapat namun pengambil keputusan oleh
tiap Karopi melalui musyawarah dan mufakat.
Musyawarah Kombongan Kalua dalam
pengambilan keputusan berdasarkan keterwakilan oleh To Parenge karena asumsi
bahwa sudah ada proses di tingkat Karopi sebelum terjun ke Kombongan Kalua.
Seluruh keputusan dalam Kombongan Kalua dibacakan kembali oleh To Dia dan
akhiri dengan upacara Potong Babi dan memakan nasi dari jenis padi berbulu yang
berarti apabila ada yang mengingkari hasil Kombongan, maka tulang babi akan
menyumbat lehernya dan bulu dari babi akan menusuk perut sehingga hasil
kombongan tersebut ditingkatkan kekuatannya menjadi Besse atau sumpah.
Hasil Kombongan Kalua
disosialisasikan kembali oleh To Parenge atau pemuka adat yang biasanya
dilakukan pada saat upacara adat dan mengikat seluruh warga Lembang sang
Nanggalaan.
Kombongan
Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja.
Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila
terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh
seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut
tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi
perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban
dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya sehingga biasanya
kombongan menjadi ajang Pengadilan To Parenge, namun karena kedudukan To
Parenge serta mekanisme pengangkatannya melalui usulan keluarga, maka sukar
dijatuhkan namun To Parenge dapat dikenakan denda atau didosa. Yang dibahas
adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang
semuanya berasal dari usulan masyarakat. Apabila ada yang tidak dapat
diselesaikan atau menyangkut hubungan dengan Karopi lainnya, maka akan diajukan
ke Kombongan Kalua. Kombongan tersebut sesuai fungsinya menunjuk beberapa
pemuka sebagai Adat Pendamai atau Peradilan Adat.
Kombongan
Soroan, kombongan yang menyangkit aturan lokal dalam
wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain
organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT. Mengkaji
dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan gotong-royong kelompok
atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan. Segala
keputusan Kombongan diketahui oleh To Parenge dan yang tidak terselesaikan di
bawa ke Kombongan Karopi.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Den Upa Rombelayuk. KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT DESA DI
TANA TORAJA – SULAWESI SELATAN.
2. Pietsau
Amafnini . Tanah Hak Ulayat dan Hak Dasar Masyarakat Adat Papua Dalam Proses
Pembangunan.
3.
Mukhtaradam. Keraton Ternate. 2009
4.
Suku Benuaq. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
Iman Sudiyat. 1981. Liberty. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar