Teknologi telah merambah semua sisi kehidupan, tak terkecuali bidang
hukum. Setelah beberapa waktu lalu kesaksian melalui video conference dipergunakan
dalam proses persidangan, Dalam hukum acara pidana dikenal lima alat bukti,
yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli (expertise), surat, petunjuk,
dan keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat (1) KUHAP). Dalam acara perdata dikenal
beberapa Alat bukti yaitu: alat bukti
tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan persangkaan, pengakuan dan
sumpah (Pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW) Selain alat-alat bukti tersebut dalam
hukum acara perdata juga dikenal pemeriksaan setempat (discente) dan
keterangan ahli (expertise). Dalam peradilan agama dikenal beberapa alat
bukti yaitu Sumpah, Pengakuan, penolakan sumpah, qasamah, bayyinah, ilmu qadhi
dan petunjuk-petunjuk. Sedangkan dalam PTUN dikenal beberapa alat bukti yaitu Surat
atau tulisan, Keterangan ahli, Keterangan saksi, Pengakuan para pihak, dan Pengetahuan hakim.
Alat
bukti selama ini dipahami sebagai sesuatu yang dijadikan dasar oleh hakim untuk
memutus perkara. Berbeda dengan barang bukti yang hanya berfungsi untuk
menambah keyakinan hakim dalam memeriksa perkara. Ketidakhadiran saksi korban banyak
diakibatkan oleh ketidakmampuan jaksa penuntut umum untuk menghadirkan saksi
korban secara maksimal, ketidakpercayaan atas jaminan keamanan terhadap saksi
korban, perlakuan terhadap saksi korban saat diperiksa dan alasan-alasan
lainnya sehingga saksi korban enggan diperiksa di persidangan. Implikasi dari kesaksian
yang tidak memadai tersebut terutama karena minimnya kehadiran saksi korban
membuat tersendatnya proses pembuktian yang akhirnya akan menyulitkan hakim
dalam memberikan keputusan hukum
Persoalan tentang perlindungan saksi dan korban seharusnya
menjadi persoalan yang sangat penting dalam proses peradilan HAM ini. Karena
itu perlindungan atau pemberian hak-hak khusus kepada saksi dan korban mutlak
harus dilakukan. KUHAP yang menjadi landasan penting beracara dalam pengadilan
HAM ini telah memberikan hak-hak kepada saksi, walau tidak memadai. Demikian
pula pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 dan PP No. 2 Tahun 2002 secara khusus telah
pula memberikan pengaturan tentang perlindungan saksi dan korban dalam kasus
pelanggaran HAM berat.
Pada kenyataannya selama proses peradilan pelanggaran HAM
berat ad hoc ini, perlindungan terhadap saksi dan korban tidak cukup memadai
bahkan terhadap hak-hak korban yang secara jelas sudah diatur oleh undang-undang, ternyata
tidak dapat diberikan. Tidak diberikannya hak-hak saksi dan korban yang secara
tegas telah dinyatakan dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan
ketidakpercayaan saksi dan korban bahwa hak-hak mereka akan dilindungi bahkan
diberikan ketika mereka berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung
penegakan hukum. Hal ini menunjukkan, bukan saja dapat dikatakan bahwa negara
gagal mewujudkan sistem peradilan yang kompeten dan adil, negara gagal menjamin
sistem kesejahteraan dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM,
karena Hak korban akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari
hak asasi bidang kesejahteraan/jaminan sosial (social security).
Perlindungan keamanan bagi saksi diharapkan juga diberikan
setelah proses pemberian kesaksian. Sebagai contoh, pengakuan salah seorang
saksi yang menyatakan bahwa posisinya sangat sulit untuk memberikan kesaksian di
pengadilan ini karena ketakutan bahwa kesaksian yang diberikannya tersebut akan
menimbulkan masalah karena para terdakwa masih memiliki otoritas yang besar
(saksi menyebutkan bahwa: “mereka” sangat “kuat”). Pengakuan ini dilakukan
karena saksi tinggal di daerah perbatasan dan daerah tersebut masih sangat
rawan.10 Ketakutan bahwa kesaksiannya akan “salah” merupakan indikasi bahwa
saksi merasa tertekan untuk memberikan keterangan secara leluasa dan harus
berhati-hati, padahal saksi sendiri adalah seorang anggota kepolisian.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 sebenarnya telah
memberikan cara untuk prosedur pemberian kesaksian yang berbeda dengan KUHAP,
yaitu pemberian kesaksian dengan
menggunakan videconfrence atau tanpa hadir langsung di pengadilan.13
Tapi prosedur ini diatur dengan PP yang secara yuridis dianggap bertentangan
dengan aturan dari KUHAP sebagai dasar untuk proses beracara dalam pengadilan
HAM ad hoc ini. Hal ini problematik karena proses pembuktian yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini tidak menjadi otomatis diterima oleh majelis hakim
karena derajat peraturan yang berbeda.14 Oleh karena itu pelaksanaan dari
proses pemberian kesaksian yang dimaksud
oleh PP tersebut terbatas digunakan oleh para hakim karena para hakim sendiri
berbeda pendapat mengenai perlu tidak digunakannya mekanisme kesaksian ini.
Dalam prakteknya ternyata proses pembuktian yang terutama
berkaitan dengan pemeriksaan saksi membutuhkan sebuah mekanisme khusus.
Terobosan yang dilakukan oleh majelis hakim ketika memperbolehkan adanya
pemeriksaan melalui media teleconference merupakan salah satu mekanisme pemberian
keterangan oleh saksi terutama saksi korban yang tidak diatur oleh KUHAP.
Alasan digunakannya teleconference adalah bahwa adanya adagium “bahwa
hukum itu berkembang dan cenderung tertinggal”. Hakim sebagai penegak hukum memang mempunyai
kewajiban untuk menggali hukumnya terutama dalam konteks pelanggaran HAM berat
yang merupakan kejahatan internasional dan merupakan yurisdiksi internasional.
Apalagi di dalam hukum acara pidana internasional media teleconference tersebut
telah lazim digunakan. Hal ini juga sejalan dengan PP No. 2 Tahun 2002 tentang
tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat
yang menyatakan bahwa pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Jadi menurut pendapat saya Dapat diterapkannya media teleconference
sebagai salah satu cara dalam pemeriksaan saksi dalam pengadilan HAM ad hoc
ini ternyata lebih banyak diakibatkan pertimbangan dari majelis hakim tentang
perlunya cara ini digunakan agar menemukan kebenaran materiil. Majelis hakim
yang menggunakan media teleconference ini perlu mengeluarkan penetapan
secara khusus untuk terlaksananya teleconference. Hal ini berarti bahwa
proses pemberian kesaksian melalui teleconference tersebut tidak dapat
secara otomatis dapat digunakan. Bahkan para penasehat hukum para terdakwa juga
menyatakan keberatan atas digunakannya media teleconference ini sebagai
salah satu cara untuk memeriksa kesaksian karena bertentangan dengan kitab
undang-undang hukum acara yang berlaku. Perbedaan
pandangan apakah media teleconference, sebagai salah satu cara untuk
melindungi saksi ketika memberikan keterangan secara aman baik fisik dan
mental, bertentangan dengan KUHAP menjadi bahan analisis yang penting karena
akan berimplikasi pada model kesaksian dalam kasus-kasus Pelanggaran HAM berat
yang lain.
Implikasi terhadap pertentangan secara yuridis ini adalah
apakah pemeriksaan saksi dengan menggunakan media teleconference ini
akan dapat digunakan sebagai sebuah alat bukti yang sah atau tidak jika dilihat
ketentuan dalam KUHAP bahwa kesaksian yang dapat dianggap sebagai alat bukti
yang sah adalah saksi yang hadir langsung di persidangan dan saksi yang
dibacakan keterangannya yang telah disumpah terlebih dahulu. Jika tidak ada
jaminan bahwa model kesaksian media teleconference ini dapat
diperlakukan sebagai alat bukti yang sah maka segala keputusan yang telah
diambil majelis hakim dapat dibatalkan dalam tingkat banding.
Langkah
yang diambil oleh majelis hakim dengan diijinkannya media teleconference
tersebut merupakan satu-satunya langkah majelis hakim yang telah mengadopsi
ketentuan hukum internasional dalam prosedur beracara. Disini hakim berani
untuk melakukan terobosan hukum demi menjamin perlindungan kepada saksi korban
dan demi untuk menemukan kebenaran materiil. Hakim berani mengambil langkah
untuk melindungi saksi korban dari ancaman baik mental maupun fisik dari ancaman,
gangguan maupun teror kepada saksi yang pernah terjadi pada saat saksi korban
datang ke persidangan untuk memberikan kesaksian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar