Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.
Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
Dalam
sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum
pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi
sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik
ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut
masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan
penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi
(stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang
yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal
dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu
keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk
menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua
adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau
dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam
penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus
sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya
tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum
pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif
maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling
ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan
dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.
Proses Hukum yang adil (layak)
Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak
Secara
keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya
dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara
pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of
law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan
secara formil.
Pemahaman
tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin
penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia
menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia
memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling
tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang
terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan,
hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan yang
bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.
Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak
tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan
penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus
didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga
masyarakat
Dengan
keberadaan UU No.8 Tahun 1981, kehidupan hukum Indonesia telah meniti
suatu era baru, yaitu kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan
perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan
pidana.
Perlindungan
hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan
ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan
undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan
bertanggung jawab.
Namun
semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan
pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur yang terlibat
didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling
mempengaruhi satu sama lain.
Model Integrated Criminal Justice System
Dalam sistim peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial.
Pendekatan
normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi
pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat
aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim
penegakan hukum semata-mata.
Pendekatan
administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu
organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang
bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur
organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang
dipergunakan adalah sistem administrasi.
Pendekatan
sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara
keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam
melaksanakan tugasnya. Sistim yang dipergunakan adalah sistim sosial.
a.
Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).
b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.
c. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of justice”
Komponen
- komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup
praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan
dan lembaga pemasyarakatat. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama
membentuk suatu “integrated criminal justice system”.
Muladi
menegaskan makna intergrated criminal justice system adalah
sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan
dalam :
1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
2.
Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang
bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3.
Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam
maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan falsafah yang secara
menyeluruh mendasari jalannya sistim peradilan pidana.
Keselarasan
dan keterkaitan antara sub sistim yang satu dengan yang lainnya
merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah
satu sub sistim, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang
lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada
salah satu sub sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sisitim
lainnya. Keterpaduan antara subsistim itu dapat diperoleh bila
masing-masing subsistim menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman
kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistim peradilan pidana,
tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.
Komponen
sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen
dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang.
Olehkarena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik
kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana
dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi
tujuan dari penegakan hukum.Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem
peradilan pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal with criminal law and it’s enforcement”.
Pemahaman
pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik
sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara
terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai Abstract
system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur
yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.
Mardjono Reksodiputro dengan
gambaran bekerjanya system peradilan pidana demikian maka kerjasama
erat dalam satu system oleh instansi yang terlibat adalah satu
keharusan. Jelas dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul
apabila hal tersebut tidak dilakukan sangat besar. Kerugian tersebut
meliputi:
a) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;
b) kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub system); dan
c) karena
tanggung jawab masing instansi kurang jelas terbagi, maka setiap
instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari system
peradilan pidana.
Menteri
Kehakiman sendiri pernah mengingatkan “ dengan menggunakan kata system
sebenarnya kita telah menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan
manajemen administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlu adanya
keterpaduan dalam langkah dan gerak masing-masing sub system kearah
tercapainya tujuan bersama.”
Modernisasi Sistem Peradilan
Dengan
semakin meningkatnya proses modernisasi yang memunculkan fenomena baru
berupa globalisasi, menuntut perubahan struktur hubungan-hubungan hukum (legal stucture), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture) maka akan timbul bahaya-bahaya terhadap ketentraman hidup (peaceful life)
dalam berbagai kehidupan sosial, akan menjadi tidak pasti, tidak tertib
serta tidak terlindung. Sebabnya adalah penegakan hukum aktual (actual enforcement) akan jauh dari penegakan hukum ideal (total enforcement and full anforcement).
Penegakan
hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yakni konsep
penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang
menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut
ditegakkan tanpa terkecuali, yang bersifat penuh (full enforcement
concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum
acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual dan konsep
penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah
diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena
keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana,
kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan
kurangnya partisipasi masyarakat.
Dalam era modernisasi dan globalisasi inilah sistim hukum ditantang untuk berperan sebagai mekanisme pengintegrasi (integrative mechanism)
yang dapat mempersatukan berbagai dimensi kepentingan : (a) Antar
kepentingan internal bangsa, (b) Antar kepentingan nasional dengan
kepentingan internasional, (c) Antar sektor kehidupan nasional.
Hukum
nasional dalam era globalisasi di samping mengandung “Local
Characteristics” seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam
dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan
internasional ini memberikan warna di dalam kehidupan hukum nasional
baik dalam pembentukan hukum, penegakan hukum maupun kesadaran hukum.
Disadari
ataupun tidak, modernisasi dan globalisasi memang dapat menimbulkan
permasalahan tersendiri dalam penegakan hukum. Meski demikian masalah
pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhinya yang berdampak positif ataupun negatif terletak pada isi
faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto,
adalah sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-undang.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Diantara
faktor-faktor tersebut di atas, maka faktor penegak hukum menempati
titik sentral. Hal ini disebsbkan oleh karena undang-undang disusun
disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum,
dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh
masyarakat.
Penegakan
hukum yang baik ialah apabila sistim peradilan pidana bekerja secara
obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan
mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi
masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan
oleh aparatur penegak hukum.
Dalam
konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistim, terdapat
hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan
kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah
dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.
Salah
satu cara untuk melaksanakan modernisasi sistim peradilan pidana adalah
dengan membangun sebuah model. Menurut pendapat Herbert Packer,
pendekatan normatif dibedakan ke dalam dua model, yaitu : crime control
model dan due prosess model.
Sedangkan menurut Muladi, model sistim peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah yang mengacu kepada : “daad-dader strafrecht”
yang disebut : model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model
yang realistik yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum,
kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan
korban kejahatan.
Persepsi
para pendukung crime control model dan due prosess model terhadap
proses peradilan pidana adalah bahwa proses tersebut tidak lain
merupakan suatu “decision making”. Crime control model merupakan
pengambilan keputusan yang mengutamakan “excessive leniency” sedangkan
due prosess model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan
ketepatan dan persamaan. Pada
intinya perbedan dua model ini berkisar pada bagaimana mengendalikan
pengambilan keputusan agar dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.
Penutup
Secara
umum penegakan hukum hanya dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban
dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini
dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu
menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil
yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.
Sebagai
suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat
dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk
melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistim peradilan pidana.
Penegakan
hukum pidana sebagai suatu proses harus dilihat secara realistik,
sehingga penegakan hukum secara aktual (actual enforcement) harus
dilihat sebsgsi bagian diskresi yang tidak dapat dihindari karena
keterbatasan-keterbatasan, sekalipun pemantauan secara terpadu akan
memberikan umpan balik yang positif.
MUSRIKK....BUDAK SYAITAN ENTE
BalasHapus