A.
Sejarah
Perkembangan Hak Atas Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dilihat dari perkembangan hak kekayaan intelektual (HKI) di tanah air,
sistem hukum (IPR) pertama kali diterjemahkan menjadi hak milik intelektual, kemudian menjadi hak milik atas kekayaan intelektual. Istilah yang umum dan lazim dipakai sekarangadalah hak kekayaan intelektual yang
disingkat HKI. Hal ini sejalan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri
Hukum dan PerUndang-Undangan RI Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dalam surat Nomor 24/M/PAN/1/2000
istilah “Hak Kekayaan Intelektual” (tanpa “Atas”) dapat
disingkat “HKI” atau akronim “HaKI” telah resmi dipakai. Jadi bukan lagi Hak Atas Kekayaan Intelektual (dengan “Atas”).
Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan tersebut
didasari pula dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 1998
tanggal 15 September 1998, tentang perubahan nama Direktorat Jenderal Hak Cipta,
Paten dan Merek berubah menjadi Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual(Ditjen HAKI) kemudian berdasar Keputusan Presiden Nomor 177
Tahun 2000 Ditjen HAKI berubah menjadi Ditjen HKI (DJHKI).
Hak Kekayaan
Intelektual merupakan
suatu hak alamiah atau hak dasar yang
dimiliki seseorang berkaitan dengan intelektualitas (akal atau rasio) manusia. Hak Alamiah atau hak dasar yang dimiliki oleh manusia ini
harus dihormati dan dihargai oleh setiap manusia lain. Seseorang yang telah
mencurahkan usahanya untuk menciptakan sesuatu selanjutnya mempunyai hak alamiah atau hak dasar
untuk memiliki dan mengontrol segala yang telah diciptakannya. Pendekatan ini
menyiratkan kewajaran dan keadilan , akan nampak tidak wajar dan tidak adil mengambil
usaha seseorang tanpa izin terlebih dahulu. Secara historis, peraturan
perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an.
Pemerintah
kolonial Belanda memperkenalkan Undang-Undang (UU) pertama mengenai
perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan
UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak
Cipta (1912). Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands
East-Indies Paris Covention for the Protection of Industrial Property sejak
tahun 1888, anggota dari tahun 1893 s.d. 1936, dan anggota sejak tahun 1914.
Pada jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 s.d.1945, semua peraturan
perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.
Pada 17 Agustus
1945, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan
dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan
peninggalan colonial Belanda tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang ini”. Hal ini kemudian dipertegas lagi dengan ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 2 tanggal 10 Oktober1945 yang menyatakan: “Segala badan negara
dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan menurut Undang-Undang
Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang- Undang Dasar
tersebut”. Undang-Undang Hak Cipta dan UU Merek peninggalan
Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang
dianggap bertentangan dengan Pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam
UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di Kantor Paten
yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan
paten tersebut harus dilakukan di yang berada di Belanda.
Pada 1953,
Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan
nasional pertama yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri
Kehakiman Nomor J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara
permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G.
1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
Pada 11 Oktober 1961, Pemerintah Indonesia mengundangkan UU No. 21 tahun 1961
tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961) untuk mengganti
UU Merek kolonial Belanda. Undang-Undang Merek 1961 yang merupakan UU Indonesia
pertama di bidang HKI mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU
Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang
tiruan/bajakan. Pada 10 Mei 1979, Indonesia meratifikasi Konvensi Paris (1967)
berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam
Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian
(reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28
ayat (1).
Pada 12 April
1982, Pemerintah mengesahkan UU No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta (UU Hak
Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU
Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan,
penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat
pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa. Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal
era modern system HKI di tanah air. Pada 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk
sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan Presiden Nomor 34/1986 (tim
ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34
adalah penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan
perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan
instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Tim
Keppres 34 selanjutnya membuat terobosan, antara lain dengan mengambil
inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem
paten di tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali rancangan UU Paten
yang telah diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah
mengesahkan UU Paten.
Pada 19
September 1987 Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 7 tahun 1987 sebagai
perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan UU No.
7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No. 12 tahun 1982
dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat
membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreatifitas masyarakat. Menyusuli
pengesahan UU No. 7 tahun 1987, Pemerintah Indonesia menandatangani sejumlah
kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari UU tersebut Pada
1988, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 ditetapkan pembentukan Direktorat
Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk
mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak
Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat
Jenderal Hukum dan perundang-undangan, Departemen Kehakiman.
Pada 13 Oktober
1989, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui rancangan UU tentang Paten, yang
selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) oleh Presiden
RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus
1991. Pengesahan UU Paten 1989 mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa
pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan
dalam pertimbangan UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan
untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik
bagi kegiatan penemuan teknologi. Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan
nasional secara umum dan khususnya di sektor industri, teknologi memiliki
peranan yang sangat penting. Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk
menarik investasi asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri.
Namun demikian, ditegaskan pula bahwa upaya untuk mengembangkan sistem HKI,
termasuk paten, di Indonesia tidaklah semata-mata karena tekanan dunia internasional,
namun juga karena kebutuhan nasional untuk menciptakan suatu sistem
perlindungan HKI yang efektif. Pada 28 Agustus 1992, Pemerintah Indonesia mengesahkan
UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal
1 April 1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961.
B.
Sejarah Perkembangan Hak atas Kekayaan
Intelektual di Internasional
A. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan
Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari
buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan
dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah pikiran
tersebut dapat terwujud dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol,
penamaan, citra, dan desain yang digunakan dalam kegiatan ko-mersil.
Menurut WIPO
(World Intellectual Property Organization) – badan dunia di bawah naungan PBB
untuk isu HKI, hak kekayaan intelektual terbagi atas 2 kategori, yaitu:
1. Hak
Kekayaan Industri
Kategori ini
mencakup penemu-an (paten), merek, desain indus-tri, dan indikasi geografis.
Dari sumber situs WTO, masih ada hak kekayaan intelektual lainnya yang termasuk
dalam kategori ini yaitu rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu.
2. Hak
Cipta
Hak Cipta
merupakan istilah legal yang menjelaskan suatu hak yang diberikan pada pencipta
atas karya literatur dan artistik mereka. Tujuan utamanya adalah untuk
memberikan perlindungan atas hak cipta dan untuk mendukung serta memberikan
penghargaan atas buah kreativitas.
Karya-karya yang
dicakup oleh Hak Cipta termasuk: karya-karya literatur seperti novel, puisi,
karya pertunjukan, karta-karya referensi, koran dan program komputer,
data-base, film, komposisi musik, dan koreografi, sedangkan karya artistik
seperti lukisan, gambar, fotografi dan ukiran, arsitektur, iklan, peta dan
gambar teknis.
Kategori ini
mencakup karya-karya literatur dan artistik seperti novel, puisi, karya
panggung, film, musik, gambar, lukisan, fotografi dan patung, serta desain
arsitektur. Hak yang berhubungan dengan hak cipta termasuk artis-artis yang
beraksi dalam sebuah pertunjukan, produser fonogram dalam rekamannya, dan
penyiar-penyiar di program radio dan televisi.
3. Paten
Paten merupakan
hak eksklusif yang diberikan atas sebuah penemuan, dapat berupa produk atau
proses secara umum, suatu cara baru untuk membuat sesuatu atau menawarkan
solusi atas suatu masalah dengan teknik baru.
Paten memberikan
perlindungan terhadap pencipta atas penemuannya. Perlindungan tersebut
diberikan untuk periode yang terbatas, biasa-nya 20 tahun. Perlindungan yang
dimaksud di sini adalah penemuan tersebut tidak dapat secara komersil dibuat,
digunakan, disebarkan atau di jual tanpa izin dari si pencipta.
4. Merek
Merek adalah
suatu tanda tertentu yang dipakai untuk mengidentifi-kasi suatu barang atau
jasa sebagai-mana barang atau jasa tersebut dipro-duksi atau disediakan oleh
orang atau perusahaan tertentu. Merek membantu konsumen untuk mengidentifikasi
dan membeli sebuah produk atau jasa berdasarkan karakter dan kualitasnya, yang
dapat teridentifikasi dari mereknya yang unik.
5. Desain Industri
Desain industri
adalah aspek ornamental atau estetis pada sebuah benda. Desain tersebut dapat
mengandung aspek tiga dimensi, seperti bentuk atau permukaan benda, atau aspek
dua dimensi, seperti pola, garis atau warna.
Desain industri
diterapkan pada berbagai jenis produk industri dan kerajinan; dari instrumen
teknis dan medis, jam tangan, perhiasan, dan benda-benda mewah lainnya; dari
peralatan rumah tangga dan peralatan elektronik ke kendaraan dan struktur
arsitektural; dari desain tekstil hinga barang-barang hiburan.
Agar terlindungi
oleh hukum nasional, desain industri harus terlihat kasat mata. Hal ini berarti
desain in-dustri pada prinsipnya merupakan suatu aspek estetis yang alami, dan
tidak melindungi fitur teknis atas benda yang diaplikasikan.
6. Indikasi Geografis
Indikasi
Geografis merupakan suatu tanda yang digunakan pada ba-rang-barang yang
memiliki keaslian geografis yang spesifik dan memiliki kualitas atau reputasi
berdasar tempat asalnya itu. Pada umumnya, Indikasi Geografis merupakan nama
tempat dari asal barang-barang tersebut. Produk-produk pertanian biasanya
memiliki kualitas yang terbentuk dari tempat produksinya dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor lokal yang spesifik, seperti iklim dan tanah. Berfung-sinya suatu
tanda sebagai indikasi geografis merupakan masalah hukum nasional dan persepsi
konsumen.
7. Rahasia Dagang
Rahasia dagang
dan jenis-jenis informasi rahasia lainnya yang memiliki nilai komersil harus
dilindungi dari pelanggaran atau kegiatan lainnya yang membuka rahasia praktek
komersial. Namun langkah-langkah yang rasional harus ditempuh sebe-lumnya untuk
melindungi informasi yang bersifat rahasia tersebut. Pengujian terhadap data
yang diserahkan kepada pemerintah sebagai langkah memperoleh
persetujuan untuk memasarkan produk farmasi atau perta-nian yang memiliki komposisi baru juga harus dilindungi dari kecurang-an perdagangan.
persetujuan untuk memasarkan produk farmasi atau perta-nian yang memiliki komposisi baru juga harus dilindungi dari kecurang-an perdagangan.
8. Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu
Sirkuit terpadu
adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya
terdapat ber-bagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut
adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta
di-bentuk secara terpadu di dalam sebu-ah bahan semi-konduktor yang dimaksudkan
untuk menghasilkan fungsi elekronik.
Desain tata
letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai
elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta
sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga
dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.
B. Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Dalam Perdagangan Internasional
Pemikiran dan
pengetahuan me-rupakan bagian penting dari perda-gangan sebab buah pemikiran
dan pengetahuan tersebut dapat menghasilkan suatu ciptaan yang diperdagangkan.
Oleh sebab itu, hak kekayaan intelektual menyentuh juga aspek industri dan
perdagangan. Sebagian besar dari nilai yang dikandung oleh jenis obat-obatan
baru dan produk-produk berteknologi tinggi berada pada banyaknya penemuan,
inovasi, riset, desain dan pengetesan yang dilakukan. Film-film, rekaman musik,
buku-buku dan piranti lunak komputer serta jasa online dibeli dan dijual karena
informasi dan krea-tivitas yang terkandung, biasanya bukan karena plastik,
metal atau kertas yang digunakan untuk membuatnya. Produk-produk yang semula
diperda-gangkan sebagai barang-barang berteknologi rendah kini mengandung nilai
penemuan dan desain yang lebih tinggi sehingga meningkatkan nilai jual
produk-produk tersebut.
Dalam hal
penciptaan atas produk-produk tersebut, pencipta dapat diberikan hak untuk
mencegah pihak lain memakai penemuan mereka, desain atau karya lainnya dan
pencipta dapat menggunakan hak tersebut un-tuk menegosiasikan pembayaran
sebagai ganti atas penggunaan hasil ciptaannya itu oleh pihak lain. Inilah yang
dimaksud dengan ”hak kekaya-an intelektual”. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, kekayaan in-telektual ini bentuknya bisa beragam, seperti
buku-buku, lukisan dan film-film di bawah hak cipta; penemuan dapat dipatenkan;
merek dan logo produk dapat didaftarkan sebagai merek; dan sebagainya.
Dalam
perkembangannya, perlindungan serta penerapan atas hak kekayaan intelektual ini
bervariasi di seluruh dunia. Sebagaimana kesadaran akan pentingnya HKI dalam
perdagangan semakin tinggi, maka perbedaan-perbedaan antar berbagai pi-hak di
dunia menjadi sumber perde-batan dalam hubungan ekonomi internasional. Adanya
suatu peraturan perdagangan internasional yang dise-pakati atas HKI dipandang
sebagai cara untuk menertibkan dan menjaga konsistensi serta mengupayakan agar
perselisihan dapat diselesaikan secara lebih sistematis.
Menyadari HKI
sebagai faktor penting dalam perdagangan interna-sional, maka dalam kerangka
sistem perdagangan multilateral, kesepakat-an mengenai HKI (Agreement on
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS) dinegosiasi-kan
untuk pertama kalinya dalam pe-rundingan WTO, yaitu Uruguay Round pada tahun
1986-1994.
Uruguay Round
berhasil membu-ahkan kesepakatan TRIPS Agreement sebagai suatu jalan untuk
memper-sempit perbedaan yang ada atas perlindungan HKI di dunia dan menaunginya
dalam sebuah peraturan internasional. TRIPS Agreement menetapkan tingkat
minimum atas perlindungan HKI yang dapat dijaminkan terhadap seluruh anggota
WTO. Hal yang penting adalah ketika ter-jadi perselisihan perdagangan yang
terkait dengan HKI, maka sistem penyelesaian persengketaan WTO kini tersedia.
Kesepakatan TRIPS ini meliputi 5
(lima) hal, yaitu:
1. Penerapan prinsip-prinsip
dasar atas sistem perdagangan dan hak kekayaan intelektual
2. Perlindungan yang layak atas
hak kekayaan intelektual
3. Bagaimana negara-negara harus
menegakkan hak kekayaan inte-lektual sebaik-baiknya dalam wilayahnya sendiri
4. Penyelesaian perselisihan atas
hak kekayaan intelektual antara negara-negara anggota WTO
5. Kesepakatan atas transisi
khusus selama periode saat suatu sistem baru diperkenalkan
Perjanjian TRIPS
yang berlaku sejak 1 Januari 1995 ini merupakan perjanjian multilateral yang
paling komprehensif mengenai HKI. TRIPS ini sebetulnya merupakan perjanjian
dengan standar minimum yang memungkinkan negara anggota WTO untuk menyediakan
perlindungan yang lebih luas terhadap HKI. Negara-negara Anggota dibebaskan
un-tuk menentukan metode yang paling memungkinkan untuk menjalankan ketetapan
TRIPS ke dalam suatu sistem legal di negaranya.
Salah satu isu
dalam HKI yang menarik untuk dibahas adalah pemalsuan. Pemalsuan merupakan
masalah yang sedang berkembang yang men-ciptakan ketegangan dalam hubungan
ekonomi internasional. Oleh karena itu, perjanjian TRIPS juga mencakup
penerapan prinsip-prinsip dasar GATT dan perjanjian-perjanjian internasional
yang relevan dengan masalah HKI, termasuk pemalsuan.
Perjanjian TRIPS
mengharuskan Anggota WTO untuk melakukan notifikasi kepada Dewan TRIPS.
Notifikasi ini merupakan fasilitasi bagi Dewan TRIPS untuk memonitor
implementasi Perjanjian dan wadah yang mendukung transparansi negara anggota
menyangkut kebijakan atas perlindungan HKI. Selain itu, negara anggota yang
akan memanfaatkan beberapa ketentuan yang tercakup dalam Perjanjian dan
berhubungan dengan kewajiban harus memberikan notifikasi kepada Konsul. Konsul
telah menetapkan prosedur dan arahan mengenai notifikasi. Sebagai tambahan,
negara anggota juga telah setuju untuk melakukan notifikasi atas hal-hal yang
belum diatur dalam Perjanjian.
berterimaksih sama Allah S.W.T, bukan sama orang yg anda agung-agungkan sirik rezki semuanya Allah yg mengatur......aneeh
BalasHapus