Kamis, 24 November 2011

SEJARAH dan PERKEMBANGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL NASIONAL dan INTERNASIONAL


A.      Sejarah Perkembangan Hak Atas Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dilihat dari perkembangan hak kekayaan intelektual (HKI) di tanah air, sistem hukum (IPR) pertama kali diterjemahkan menjadi hak milik intelektual, kemudian menjadi  hak milik atas kekayaan intelektual. Istilah yang umum dan lazim dipakai sekarangadalah hak kekayaan intelektual yang disingkat HKI. Hal ini sejalan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan RI Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dalam surat Nomor 24/M/PAN/1/2000 istilah “Hak Kekayaan Intelektual” (tanpa “Atas”) dapat disingkat “HKI” atau akronim  “HaKI”  telah resmi dipakai. Jadi bukan lagi Hak Atas Kekayaan Intelektual (dengan “Atas”). 

Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan tersebut didasari pula dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 1998 tanggal 15 September 1998, tentang perubahan nama Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek berubah menjadi Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan  Intelektual(Ditjen HAKI) kemudian berdasar Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 Ditjen HAKI berubah menjadi Ditjen HKI (DJHKI). 

Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu hak alamiah atau hak dasar yang dimiliki seseorang berkaitan dengan intelektualitas (akal atau rasio) manusia. Hak Alamiah atau hak dasar yang dimiliki oleh manusia ini harus dihormati dan dihargai oleh setiap manusia lain. Seseorang yang telah mencurahkan usahanya untuk menciptakan sesuatu selanjutnya mempunyai hak alamiah atau hak dasar untuk memiliki dan mengontrol segala yang telah diciptakannya. Pendekatan ini menyiratkan kewajaran dan keadilan , akan nampak tidak wajar dan tidak adil mengambil usaha seseorang tanpa izin terlebih dahulu. Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. 

Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan Undang-Undang (UU) pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies Paris Covention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota dari tahun 1893 s.d. 1936, dan anggota sejak tahun 1914. Pada jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 s.d.1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.

Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan colonial Belanda tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang- Undang ini”. Hal ini kemudian dipertegas lagi dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 tanggal 10 Oktober1945 yang menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang- Undang Dasar tersebut”. Undang-Undang Hak Cipta dan UU Merek peninggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan Pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di yang berada di Belanda. 

Pada 1953, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri. Pada 11 Oktober 1961, Pemerintah Indonesia mengundangkan UU No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961) untuk mengganti UU Merek kolonial Belanda. Undang-Undang Merek 1961 yang merupakan UU Indonesia pertama di bidang HKI mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan. Pada 10 Mei 1979, Indonesia meratifikasi Konvensi Paris (1967) berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28 ayat (1). 

Pada 12 April 1982, Pemerintah mengesahkan UU No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa. Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern system HKI di tanah air. Pada 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan Presiden Nomor 34/1986 (tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34 adalah penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Tim Keppres 34 selanjutnya membuat terobosan, antara lain dengan mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali rancangan UU Paten yang telah diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah mengesahkan UU Paten. 

Pada 19 September 1987 Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreatifitas masyarakat. Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987, Pemerintah Indonesia menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari UU tersebut Pada 1988, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan perundang-undangan, Departemen Kehakiman. 

Pada 13 Oktober 1989, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui rancangan UU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989 mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi. Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan nasional secara umum dan khususnya di sektor industri, teknologi memiliki peranan yang sangat penting. Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Namun demikian, ditegaskan pula bahwa upaya untuk mengembangkan sistem HKI, termasuk paten, di Indonesia tidaklah semata-mata karena tekanan dunia internasional, namun juga karena kebutuhan nasional untuk menciptakan suatu sistem perlindungan HKI yang efektif. Pada 28 Agustus 1992, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April 1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961.

B.      Sejarah Perkembangan Hak atas Kekayaan Intelektual di Internasional

A. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah pikiran tersebut dapat terwujud dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol, penamaan, citra, dan desain yang digunakan dalam kegiatan ko-mersil.

Menurut WIPO (World Intellectual Property Organization) – badan dunia di bawah naungan PBB untuk isu HKI, hak kekayaan intelektual terbagi atas 2 kategori, yaitu:
1.       Hak Kekayaan Industri
Kategori ini mencakup penemu-an (paten), merek, desain indus-tri, dan indikasi geografis. Dari sumber situs WTO, masih ada hak kekayaan intelektual lainnya yang termasuk dalam kategori ini yaitu rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu.

2.       Hak Cipta
Hak Cipta merupakan istilah legal yang menjelaskan suatu hak yang diberikan pada pencipta atas karya literatur dan artistik mereka. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan perlindungan atas hak cipta dan untuk mendukung serta memberikan penghargaan atas buah kreativitas.
Karya-karya yang dicakup oleh Hak Cipta termasuk: karya-karya literatur seperti novel, puisi, karya pertunjukan, karta-karya referensi, koran dan program komputer, data-base, film, komposisi musik, dan koreografi, sedangkan karya artistik seperti lukisan, gambar, fotografi dan ukiran, arsitektur, iklan, peta dan gambar teknis.
Kategori ini mencakup karya-karya literatur dan artistik seperti novel, puisi, karya panggung, film, musik, gambar, lukisan, fotografi dan patung, serta desain arsitektur. Hak yang berhubungan dengan hak cipta termasuk artis-artis yang beraksi dalam sebuah pertunjukan, produser fonogram dalam rekamannya, dan penyiar-penyiar di program radio dan televisi.
3. Paten
Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan atas sebuah penemuan, dapat berupa produk atau proses secara umum, suatu cara baru untuk membuat sesuatu atau menawarkan solusi atas suatu masalah dengan teknik baru.
Paten memberikan perlindungan terhadap pencipta atas penemuannya. Perlindungan tersebut diberikan untuk periode yang terbatas, biasa-nya 20 tahun. Perlindungan yang dimaksud di sini adalah penemuan tersebut tidak dapat secara komersil dibuat, digunakan, disebarkan atau di jual tanpa izin dari si pencipta.
4. Merek
Merek adalah suatu tanda tertentu yang dipakai untuk mengidentifi-kasi suatu barang atau jasa sebagai-mana barang atau jasa tersebut dipro-duksi atau disediakan oleh orang atau perusahaan tertentu. Merek membantu konsumen untuk mengidentifikasi dan membeli sebuah produk atau jasa berdasarkan karakter dan kualitasnya, yang dapat teridentifikasi dari mereknya yang unik.
5. Desain Industri
Desain industri adalah aspek ornamental atau estetis pada sebuah benda. Desain tersebut dapat mengandung aspek tiga dimensi, seperti bentuk atau permukaan benda, atau aspek dua dimensi, seperti pola, garis atau warna.
Desain industri diterapkan pada berbagai jenis produk industri dan kerajinan; dari instrumen teknis dan medis, jam tangan, perhiasan, dan benda-benda mewah lainnya; dari peralatan rumah tangga dan peralatan elektronik ke kendaraan dan struktur arsitektural; dari desain tekstil hinga barang-barang hiburan.
Agar terlindungi oleh hukum nasional, desain industri harus terlihat kasat mata. Hal ini berarti desain in-dustri pada prinsipnya merupakan suatu aspek estetis yang alami, dan tidak melindungi fitur teknis atas benda yang diaplikasikan.
6. Indikasi Geografis
Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang digunakan pada ba-rang-barang yang memiliki keaslian geografis yang spesifik dan memiliki kualitas atau reputasi berdasar tempat asalnya itu. Pada umumnya, Indikasi Geografis merupakan nama tempat dari asal barang-barang tersebut. Produk-produk pertanian biasanya memiliki kualitas yang terbentuk dari tempat produksinya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal yang spesifik, seperti iklim dan tanah. Berfung-sinya suatu tanda sebagai indikasi geografis merupakan masalah hukum nasional dan persepsi konsumen.
7. Rahasia Dagang
Rahasia dagang dan jenis-jenis informasi rahasia lainnya yang memiliki nilai komersil harus dilindungi dari pelanggaran atau kegiatan lainnya yang membuka rahasia praktek komersial. Namun langkah-langkah yang rasional harus ditempuh sebe-lumnya untuk melindungi informasi yang bersifat rahasia tersebut. Pengujian terhadap data yang diserahkan kepada pemerintah sebagai langkah memperoleh
persetujuan untuk memasarkan produk farmasi atau perta-nian yang memiliki komposisi baru juga harus dilindungi dari kecurang-an perdagangan.
8. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Sirkuit terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat ber-bagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta di-bentuk secara terpadu di dalam sebu-ah bahan semi-konduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elekronik.
Desain tata letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu. 

B. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Perdagangan Internasional
Pemikiran dan pengetahuan me-rupakan bagian penting dari perda-gangan sebab buah pemikiran dan pengetahuan tersebut dapat menghasilkan suatu ciptaan yang diperdagangkan. Oleh sebab itu, hak kekayaan intelektual menyentuh juga aspek industri dan perdagangan. Sebagian besar dari nilai yang dikandung oleh jenis obat-obatan baru dan produk-produk berteknologi tinggi berada pada banyaknya penemuan, inovasi, riset, desain dan pengetesan yang dilakukan. Film-film, rekaman musik, buku-buku dan piranti lunak komputer serta jasa online dibeli dan dijual karena informasi dan krea-tivitas yang terkandung, biasanya bukan karena plastik, metal atau kertas yang digunakan untuk membuatnya. Produk-produk yang semula diperda-gangkan sebagai barang-barang berteknologi rendah kini mengandung nilai penemuan dan desain yang lebih tinggi sehingga meningkatkan nilai jual produk-produk tersebut.
Dalam hal penciptaan atas produk-produk tersebut, pencipta dapat diberikan hak untuk mencegah pihak lain memakai penemuan mereka, desain atau karya lainnya dan pencipta dapat menggunakan hak tersebut un-tuk menegosiasikan pembayaran sebagai ganti atas penggunaan hasil ciptaannya itu oleh pihak lain. Inilah yang dimaksud dengan ”hak kekaya-an intelektual”. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kekayaan in-telektual ini bentuknya bisa beragam, seperti buku-buku, lukisan dan film-film di bawah hak cipta; penemuan dapat dipatenkan; merek dan logo produk dapat didaftarkan sebagai merek; dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, perlindungan serta penerapan atas hak kekayaan intelektual ini bervariasi di seluruh dunia. Sebagaimana kesadaran akan pentingnya HKI dalam perdagangan semakin tinggi, maka perbedaan-perbedaan antar berbagai pi-hak di dunia menjadi sumber perde-batan dalam hubungan ekonomi internasional. Adanya suatu peraturan perdagangan internasional yang dise-pakati atas HKI dipandang sebagai cara untuk menertibkan dan menjaga konsistensi serta mengupayakan agar perselisihan dapat diselesaikan secara lebih sistematis.
Menyadari HKI sebagai faktor penting dalam perdagangan interna-sional, maka dalam kerangka sistem perdagangan multilateral, kesepakat-an mengenai HKI (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS) dinegosiasi-kan untuk pertama kalinya dalam pe-rundingan WTO, yaitu Uruguay Round pada tahun 1986-1994.
Uruguay Round berhasil membu-ahkan kesepakatan TRIPS Agreement sebagai suatu jalan untuk memper-sempit perbedaan yang ada atas perlindungan HKI di dunia dan menaunginya dalam sebuah peraturan internasional. TRIPS Agreement menetapkan tingkat minimum atas perlindungan HKI yang dapat dijaminkan terhadap seluruh anggota WTO. Hal yang penting adalah ketika ter-jadi perselisihan perdagangan yang terkait dengan HKI, maka sistem penyelesaian persengketaan WTO kini tersedia.
Kesepakatan TRIPS ini meliputi 5 (lima) hal, yaitu:
1. Penerapan prinsip-prinsip dasar atas sistem perdagangan dan hak kekayaan intelektual
2. Perlindungan yang layak atas hak kekayaan intelektual
3. Bagaimana negara-negara harus menegakkan hak kekayaan inte-lektual sebaik-baiknya dalam wilayahnya sendiri
4. Penyelesaian perselisihan atas hak kekayaan intelektual antara negara-negara anggota WTO
5. Kesepakatan atas transisi khusus selama periode saat suatu sistem baru diperkenalkan
Perjanjian TRIPS yang berlaku sejak 1 Januari 1995 ini merupakan perjanjian multilateral yang paling komprehensif mengenai HKI. TRIPS ini sebetulnya merupakan perjanjian dengan standar minimum yang memungkinkan negara anggota WTO untuk menyediakan perlindungan yang lebih luas terhadap HKI. Negara-negara Anggota dibebaskan un-tuk menentukan metode yang paling memungkinkan untuk menjalankan ketetapan TRIPS ke dalam suatu sistem legal di negaranya.
Salah satu isu dalam HKI yang menarik untuk dibahas adalah pemalsuan. Pemalsuan merupakan masalah yang sedang berkembang yang men-ciptakan ketegangan dalam hubungan ekonomi internasional. Oleh karena itu, perjanjian TRIPS juga mencakup penerapan prinsip-prinsip dasar GATT dan perjanjian-perjanjian internasional yang relevan dengan masalah HKI, termasuk pemalsuan.
Perjanjian TRIPS mengharuskan Anggota WTO untuk melakukan notifikasi kepada Dewan TRIPS. Notifikasi ini merupakan fasilitasi bagi Dewan TRIPS untuk memonitor implementasi Perjanjian dan wadah yang mendukung transparansi negara anggota menyangkut kebijakan atas perlindungan HKI. Selain itu, negara anggota yang akan memanfaatkan beberapa ketentuan yang tercakup dalam Perjanjian dan berhubungan dengan kewajiban harus memberikan notifikasi kepada Konsul. Konsul telah menetapkan prosedur dan arahan mengenai notifikasi. Sebagai tambahan, negara anggota juga telah setuju untuk melakukan notifikasi atas hal-hal yang belum diatur dalam Perjanjian.

| Free Bussines? |

1 komentar:

  1. berterimaksih sama Allah S.W.T, bukan sama orang yg anda agung-agungkan sirik rezki semuanya Allah yg mengatur......aneeh

    BalasHapus