Hukum acara pidana atau hukum
pidana formil adalah seluruh ketentuan yang mengatur tentang bagaimana Negara
dalam menegakkan hukum pidana materil. Oleh karena itu, hukum pidana formil
berisi ketentuan bagaimana perlakuan Negara melalui alat-alat perlengkapannya
(misalnya polisi, jaksa, dan hakim) terhadap yang disangka dan didakwa sebagai
pelanggar hukum pidana materil. Ketentuan atas perlakuan Negara sebagai usaha
penegakkan hukum, antara lain menentukan:
1.
Adanya pelanggaran hukum pidana Materiil
2.
Menjatuhkan
3.
Melaksanakan sanksi pidana terhadap diri
pelanggar
4.
Upaya-upaya yang boleh dilakukan oleh tersangka
atau terdakwa pelanggar hukum tersebut sebagai usaha melindungi dan
mempertahankan hak-haknya dari perlakuan Negara yang menegakkan hukum pidana
materiil tadi.
Hukum
pidana khusus dalam arti hukum pidana yang berada di luar kodifikasi yang
terdapat dan bersumber pada berbagai peraturan perundang-undangan, baik
peraturan perundang-undangan hukum pidana (seperti UU No.31/1999 jo UU No.
20/2001)maupun peraturan perundang-undangan bukan hukum pidana (seperti UU
No.36/1999 tentang telekomunikasi atau UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta)yang
didalamnya terdapat Hukum pidana. Sebagai cirri umum hukum pidana khusus yang dimuat
dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana adalah mengatur, baik hukum
pidana materiil maupun hukum pidana formil, seperti UU No.31/1999 joUU
No.20/2001.
Dalam
Hukum Pidana Formil diatur tentang berbagai pekerjaan atau kegiatan dari
lembaga-lembaga Negara yang wajib dan boleh dilakukan berhubungan dengan upaya
penegakkan hukum pidana materiil, yang dapat dikelompokkan dalam tiga kegiatan
pokok atau besar, yaitu: kegiatan dalam penyidikan, kegiatan dalam penuntutan
dan kegiatan dalam pemeriksaan di siding pengadilan.
A.
Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di
Sidang pengadilan
Penyidikan
menurut pasal 1 angka 2 KUHAP “adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” .
Hasil
penyelidikan adalah menemukan peristiwa yang diduga tindak pidana yang berarti
tindak pidana yang disebut dalam butir 2 pasal 1 tadi masih dugaan saja, elidik.artinya
belum terang . Walaupun belum terang karena masih berupa dugaan , gtetapi telah
dapat ditentukan untuk dilakukan penyidikan. Dasar untuk menarik dugaan adanya
atau terjadinya tindak pidana yang belum terang tadi adalah adanya alat bukti
permulaan, alat bukti permulaan itu dalam praktik di sandarkan pada adanya
laporan polisi, atau temuanpenyelidik.
Sedangkan
penuntutan oleh pasal 1 butir 7 didefinisikan sebagai “tindak penuntut umum
untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara uang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.
Perkara
yang dilimpahkan itu diberkaskan dalam satu berkas perkara yang disertai surat
dakwaan sebagai dasar pemeriksa perkara di siding pegadilan nanti. Pada
dasarnya pemeriksaan di siding pengadilan adalah mencari fakta-fakta hukum
untuk menemukan kebenaran yang hakiki (kebenaran materiil) mengenai peristiwa
yang sebenarnya terjadi sehingga isi yang didakwakan oleh jaksa penuntut
umum itu terbukti kebenarannya, atau
sebaliknya.
Lain
halnya dengan tersangka korupsi yang menurut pasal 28 wajib memberi keterangan
tentang seluruh hartta bendanya dan harta benda istri atau suaminya, anak dan
harta benda semua orang atau koorporasi yang diketahui dan atau diduga
mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Apabila kewajiban itu dilanggar oleh tersangka, artinya dia tidak memberikan
keterangan yang diminta tersebut, maka terhadapnya diancam pidana penjara
paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit
Rp 150.000.000,00 dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (pasal 28 jo 22). Dengan demikian tersangka dapaty
ditetapkan menjadi tersangka terhadap pelanggaran terhadap pasal 28 jo 22
selain tersangka tindak pidana korupsi perkara pokoknya menurut pasal yang
lain. Dalam hal ini, dia didakwa dua tindak pidana sekaligus atau perbarengan
(concourses). Mengancam tersangka yang tidak memberikan keterangan dengan
pidana merupakan perkecualian dari hukum pidana formil umum yang bersumber pada
KUHAP.
Demikian
juga dalam hal upaya untuk menelusuri keadaan keuangan tersangka atau terdakwa,
pada saat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding
pengadilan, penyidik,jaksa penuntut umum, maupun majelis hakim diberi
kewenangan untuk meminta keterangan pad bank tentang keadaan keuangan tersangka
atau terdakwa (pasal 29 ayat 1). Wajib simpan rahasia bank yang dijamin oleh
pasal 40 UU No. 10/1998 diterobos oleh hukum pidana korupsi untuk kepentingan
penanganan kasus korupsi.
Pasal
29 khususnya ayat 1 tentang kewenangan penidik, penuntut umum dan majelis hakim
untuk meminta keterangan pada bank tentang keuangan tersangka, tidak atau
kurang sinkron dengan ketentuan pasal 28 tentang kewajiban tersangka untuk
memberikan keterngan seluruh harta bendanya. Ketidak sinkronan terjadi karena
kewajiban tersangka menurut pasal 28 bukan saja untuk menerangka harta benda
miliknya, tetapi juga mengenai harta benda milik suami atau istrinya, anaknya
atau harta benda semua orang atau korporasi yang diketahui diduga mempunyai
hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Sedangkan pasal
29 ayat 1 kewenangan penyidik,penuntut umum dan majelis hakim dalam hal meminta
keterangan pada bank hanya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
tidak tentang keadaan keuangan istri atau suami
atau anaknya atau oranglain atau korporasi yang ada hubungannya dengan
tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Seharusnya untuk memperlancar
penyelesaian hukum tindak pidana korupsi diberikan juga hak penyidik, penuntut
umum atau majelis hakim untuk meminta keuangan mengenai harta benda milik
subjek hukum selain milik pribadi tersangka atau terdakwa seperti yang diterangkan
dalam pasal 28. Namun apabila dengan maksud untuk menghormati rahasia bank,
dapat dimengerti adanya pembatasan penerobosan rahasia bank seperti itu.
Walaupun diberi pengecualian dalam hal penerobosan rahasia keuangan bank, namun
tidak seluas-luasnya melainkan dibatasi pada keadaan pribadi keuangan tersangak
atau terdakwa saja.
Pengembalian
kerugian Negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi merupakan salah
satu tujuan dari penanganan perkara korupsi menurut UU No. 31/1999, walaupun
sebenarnya tindak pidana korupsi yang dapat membawa akibat kerugian Negara
hanya ada beberapa pasal (misalnya pasal 2,3, dan 8). Maksud pebentuk
undang-undang dalam usaha pengembalian
kerugian Negara itu, tampak pasa ketentuan pasal 33 dan 34 yang memerintahkan
kepada penyidik atau penuntut umum apabila ketika sedang dilakukan penyidikan
atau pemeriksaan di pengadilan si pembuat meninggal dunia, penyidik atau jaksa
penuntut umum diperintahkan seger menyerahkan berkas perkara kepada jaksa
pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli warisnya.
Dalam
hukum pidana korupsi ditetapkan kewajiban hukum bagi setiap orang yang
ditetapkan sebagai saksi untuk memberikan keterangan yang diharuskan benar dan
tidak boleh tidak benar. Keharusan setiap orang yang diteapkan sebagai saksi
untuk memberikan keterangan yang diharuskan benar dan tidak boleh tidak benar.
Keharusan setiap orang yang ditetapkan sebagai saksi untuk memberikan
keterangan dan kewajiban untuk memberikan keterangan secara benar disertai
ancaman pidana atau merupakan tindak pidana (pasal 22 jo 35) merupakan suatu
pembebanan kewajiban sepihak oleh Negara tanpa ada kompensasi, sekaligus
sebagai keistimewaan dari hukum pidana korupsi kita, yang tidak dikenal dalam
hukum acara pidana umum dalam KUHAP.
B.
PENANGANAN PERKARA KONEKSITAS KORUPSI
Perkara
koneksitas adalah suatu perkara pidana yang dilakukan bersama atau terlibat
sebagai pembuatnya adalah antara orang-orang yang tunduk pada hukum pidana
sipil dan orang yang tunduk pada hukum pidana militer. Landasan penyelesaian
perkara koneksitas adalah pasal 22 UUNo. 14/1970 tentang ketentuan-ketentuan
pokok Kekuasaan kehakiman yang diubah dengan UU No. 35/1999.
Penanganan
perkara koneksitas dalam hukum pidana formil kita berpegang pada prinsip
berikut
1.
Penidik dilakukan bersama oleh sebuah tim yang
terdiri atas penyidik sipil dan penyidik militer (pasal 89 ayat 2).
2.
Penyidangannya dilakukan oleh peradilan umum.
Bagaimana
proses menentukan titik berat kerugian ini pasal 90 dan 91 KUHAP yang pada
pokoknya menentukan sebagai berikut. Untuk menentukan titik berat kerugian maka
diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dengan oditur militer
atau oditer militer tinggi.
Peradilan
koneksitas, baik diadili di peradilan umum maupun peradilan militer, hakimnya
terdiri dari tiga orang yang terdiri dari atas campuran antara hakim sipil dan
hakim militer. Apabila diadili dalam
peradilan umum, maka ketua majelisnya harus hakim sipil, sedangkan hakim
anggotanya adalah masing-masing hakim militer dan hakim sipil. Begitu juga
sebaliknya, bila diadili dalam peradilan militer, maka ketua majelisnya adalah
hakim militer dan hakim anggotanya masing-masing hakim militer dan hakim sipil.
Apabila
perkara koneksitas korupsi diajukan untuk diperiksa dan diadili di peradilan
meliter, maka ketentuan sebagaiman dimaksud dengan pasal 123 ayat (1) huruf g
Undang-undang No. 31/1997 tentang peradilan militer yidak diberlakukan (pasal
40). Pasal 123 ayat 1 huruf g tersebut memuat ketenyuan tentang kewenangan
perwira penyrah perkara menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum
disiplin prajurit.
C.
SISTEM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pembuktian
adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan
kebenaran terhadap suatu peristiwa.
Kegiatan yang dijalankan dalam peradilan, pada dasarnya adalah suatu
upaya atau kegiatan untuk merekonstruksi atau melukiskan kembali suatu
peristiwa yang sudah berlalu. Hasil kegiatan peradilan akan diperoleh suatu
konstruksi peristiwa yang telah terjadi,
bentuk sempurna tidaknya atau benar tidaknya rekonstruksi itu sepenuhnya
bergantung pada pekerjaan pembuktian. Dalam hal merekonstruksi peristiwa itu
diperlukan alat-alat bukti dan cara penggunaanya sesuai dengan ketentuan yang
ada tentang pembktian sesuatu. Atas dasar apa yang diperoleh dari kegiatan itu,
maka dibentuklah konstruksi peristiwa yang sudah berlalu yang sebisa-bisanya
sama persis dengan peristiwa sebenarnya.
Dalam
hukum pidana formil umum, macam alat-alat bukti serta cara penggunaan dan
batas-batasnya telah ditentukan di dalam KUHAP. Penegakkan hukum pidana
materiil korupsi melalui hukum pidana formil secara umum termasuk perihal
pembuktian tetap tunduk dan diatur Dalam KUHAP, namun sebagai hukum pidana
khusus adapula ketentuan mengenai hukum acara yang sifatnya khusus dan
merupakan perkecualian. Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana
formil korupsi yang dilakukan undang-undang nomor 31/1999jo UU No. 20/2001
merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang ada dalam KUHAP.
Ada
beberapa kekhususan system pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi, yakni
tentang:
1.
Perluasan bahan yang dapat digunakan untuk
menarik adanya bukti petunjuk (pasal 26A)
2.
Beberapa system beban pembuktian yang berlainan
dengan system yang ada dalam KUHP.
D.
PERAN SERTA MASYARAKAT
Sebagai
bukti tekad dan maksud yang sanagat kuat dari pembentuk undang-undang dalam
usaha memberantas korupsi ialah telah dimasukkannya ketentuan tentang peran
serta masyarakat dalam usaha pemberantasan korupsi di Negara kita. Membentuk
ketentuan tentang peran serta masyarakat ini dilatarbelakangi oleh pandangan
bahwa
1.
Dengan diberikan hak dan kewajiban masyrakat
dalam usaha penanggulangan korupsi dipandang sebagai hal yang sangat membantu
sekaligus sebagai hal positif dalam upaya pencegahan dan pengungkapan
kasus-kasus korupsi yang terjadi.
2.
Persoalan penanggulangan korupsi di Indonesia,
bukan semata-mata menjadi urusan pemerintah atau para penegak hukum, melainkan
merupakan persoalan semua rakyat dan urusan bangsa.
Apa
bentuk peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak
pidana korupsi? Dalam pasal 41 ayat (2) telah dibentuk wujud-wujudnya, yakni
sebagai berikut.
1.
Hak mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
2.
Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsikepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
3.
Hak menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
4.
Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan
tentang laporan yang diberikan oleh penegak hukum dalam waktu paling lama 30
hari.
5.
Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam
hal:
a.
Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam
nomor 1,2, dan 3.
b.
Diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau ahli,
sesuai dengan ketenyuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E.
KETENTUAN PERALIHAN
Pada
setiap pergantian suatu peraturan perundang-undangan yang lama ke yang baru,
selalu diadakan aturan mengenai masa peralihan agar tidak terjadi kekosongan
hukum. Sebagaimana ketentuan dalam pasal 44 UU No. 31 tahun 1999 yang
menyatakan bahwa “pada saat mulai berlakunya UU Nomor 31 tahun 1999, maka UU
No.3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku”.
Penyebab
segera dilakukan perubahan UU No.31 /1999 dengan UU No. 20/2001 adalah untuk
memasukkan ketentuan peralihan yang dapat menghindari kekosongan hukum,
disamping tujuan lainnya seperti menyempurnakan sistem pembebanan pembuktian
dalam hukum pidana korupsi Indonesia.
Ketentuan
mengenai masa peralihan tersebut dimuat dalam pasal 43A yang isinya dapat
dirinci sebagai berikut.
1.
Prinsip dasarnya ialah semua tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum berlakunya UU No.31/1999 (16-8-1999) diperiksa dan
diputus berdasarkan UU No. 3/1971 (UU lama)
2.
Mengenai maksimum pidana penjara kejahatan
korupsi yang dilakukan sebelum berlakunya UU No.31/1999 diberlakukan ketentuan
yang paling menguntungkan terdakwa sebagaimana yang ditentukan dalam pasal
5,6,7,8,9, dan 10 UU. No. 20/2001 dan pasal 13 UU No. 31/1999.
3.
Mengenai minimum pidana penjara kejahatan
korupsi dalam pasal 5,6,7,8,9, dan 10 UU No. 20/2001 dan pasal 13 UU No.
31/1999 tidak diberlakukan pada kejahatan-kejahatan korupsi yang dilakukan
sebelum berlakunya UU No. 31/1999.
4.
Mengenai kejahatan korupsi yang dilakukan
sebelum berlakunya UU No. 20/2001 (21 November 2001) diperiksa dan diputus
berdasarkan ketentuan UU No. 31/1999 dengan ketentuan mengenai maksimum pidana
penjara bagi kejahatan korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) diberlakukan ketentuan pasal 12A ayat (2) UU No. 20/2001.
Zaman sekarang cari uang kerja halal pke otak.. gengsi pke setan!!!! Hahahahahhahaha..makan tuh uang setan!! Wkwkwk
BalasHapus