Teknologi telah merambah semua sisi kehidupan, tak terkecuali bidang hukum. Setelah beberapa waktu lalu kesaksian melalui video conference dipergunakan dalam proses persidangan, kini short massage service (SMS) banyak digunakan untuk mengungkap kasus kejahatan. Pengungkapan kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), penyuapan yang dilakukan oleh Teuku Syaifudin alias Popon kepada Ramadhan
Rizal dan M. Sholeh, serta kasus pemerasan oleh Andri Djemy Lumanuauw terhadap Walter Singgalingging yang melibatkan Hakim Herman Allositandi dalam perkara Jamsostek adalah beberapa deskripsi kasus yang menggunakan SMS sebagai sarana untuk mengungkap fakta hukum yang ada.
Dalam hukum acara pidana dikenal lima alat bukti, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli (expertise), surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat (1) KUHAP). Jika hanya mengacu pada rumusan pasal tersebut maka tidak ada peluang untuk menerapkan SMS sebagai alat bukti. Alat bukti selama ini dipahami sebagai sesuatu yang dijadikan dasar oleh hakim untuk memutus perkara. Berbeda dengan barang bukti
yang hanya berfungsi untuk menambah keyakinan hakim dalam memeriksa perkara. Penggunaan SMS sebagai alat bukti diperbolehkan dalam hukum pidana khusus sebagaimana ketentuan Pasal 44 ayat (1)
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut menyebutkan bahwa selain alat bukti yang diatur oleh KUHAP terdapat alat bukti lain yaitu informasi dalam bentuk khusus. SMS adalah salah satu informasi dalam bentuk khusus yang diperbolehkan dan telah diterapkan dalam beberapa kasus korupsi.
Lebih lanjut dalam 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa bukti permulaan yang cukup dianggap telah sesuai jika telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan tidak terbatas pada informasi/data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan, baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Rumusan pasal di atas semakin memperjelas diperbolehkannya SMS sebagai alat bukti dalam
hukum pidana khusus seperti korupsi. Pasal 42 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999
menyebutkan bahwa penyelenggara jasa komunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan, kecuali untuk keperluan proses peradilan pidana penyelenggara jasa komunikasi dapat merekam serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atyas permintaan tertulis
Jaksa agung, Kapolri dan penyidik. Pakar hukum Pidana UI, T Nasrullah menegaskan SMS hanya berlaku dalam hukum pidana khusus dan tidak berlaku pada hukum pidana umum. Sementara pakar teknologi
komunikasi, Roy Suryo menyatakan SMS tidak dapat dijadikan alat bukti tunggal. Penggunaan SMS sebagai alat bukti harus didukung dengan keterangan ahli (expertise).
Lalu bagaimana peluang penggunaan SMS dalam hukum acara perdata? Alat bukti dalam hukum acara perdata yaitu: alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaanpersangkaan,
pengakuan dan sumpah (Pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW).. Selain alat-alat bukti tersebut dalam hukum acara perdata juga dikenal pemeriksaan setempat (discente) dan
keterangan ahli (expertise). Alat bukti tertulis merupakan segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Sudikno Mertokusumo: 1993). Sekilas pengertian di atas dapat dipergunakan untuk melegalkan penggunaan SMS sebagai alat bukti. Namun jika ketentuan tersebut dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) a Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang bea meterai
yang menyebutkan semua alat bukti tertulis yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi meterai, maka SMS tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti karena pada hakekatnya SMS tidak dapat dibubuhi dengan meterai. Untuk menjadi alat bukti, SMS dapat disandarkan pada keterangan ahli. Keterangan ahli atau saksi ahli merupakan keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga karena keahliannya untuk memperoleh kejelasan bagi hakim dari suatu peristiwa yang diengketakan. Keterangan ahli dalam konteks ini adalah ahli dibidang telekomunikasi yang berguna untuk memberikan penjelasan secara ilmiah mengenai otentisitas SMS, apakah merupakan hasil rekayasa atau bukan.
Regulasi tentang kewajiban pelanggan telepon pra-bayar untuk mendaftarkan identitasnya kepada penyelenggara jasa komunikasi mulai April 2006 setidaknya akan mempermudah pengadilan untuk memeriksa identitas pengirim SMS dalam pembuktian di persidangan. Di sisi lain, SMS yang diakui pleh pihak lawan di depan persidangan bahwa SMS tersebut dikirim atau berasal dari dirinya maka hal tersebut dapat dijadikan alat bukti atas dasar pengakuan. Pengakuan merupakan keterangan sepihak di muka persidangan yang pada intinya membenarkan suatu peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan. Setidak-tidaknya SMS dapat dijadikan benda atau barang untuk meyakinkan (demonstrative evidence) hakim sebagai penunjang alat-alat buktiu yang ada. Seiring dengan perkembangan teknologi hendaknya pemerintah mampu mengakomodir lebih lanjut mengenai penggunaan SMS dalam proses peradilan dalam rancangan undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik yang sedang dipersiapkan. Sehingga ke depan diharapkan hukum bisa berjalan seiring dengan perkembangan teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar