BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR
BELAKANG
Jajanan
merupakan makan favorit bagi anak-anak sekolah khususnya anak sekolah dasar,
selain murah, jajanan juga sangat praktis untuk disantap waktu anak SD sedang
beristirahat di sekolah. Berbagai macam jajanan dijajakan di sekolahan sebagai
contoh sirup, agar-agar, mie, bakso, jelly, kudapan, dll. Berbagai makanan
tersebut sangat beragam sehingga para
siswa dapat memilihnya.
Namun,
dari jajanan yang sering ditemui di sekolah-sekolah, makanan tersebut tanpa
disadari dapat mebahayakan bagi kesehatan karena dari makanan tersebut terdapat
zat-zat yang berbahaya yang dapat membahayakan bagi orang yang memakannya.
Banyak
kasus yang terjadi mengenai masalah tentang jajanan anak sekolah (JAS), sebagai
contoh adalah kasus berikut ini :
Kasus keracunan pangan memang bisa disebabkan oleh
makanan apapun. Tapi berdasarkan data diketahui tahun 2010 jajanan pangan
menyumbang kasus keracunan sebesar 13,5 persen. Data surveilans KLB keracunan
pangan tahun 2010 terdapat 163 kejadian, dan berdasarkan jenis pangannya
diketahui jajanan pangan berkontribusi terhadap kasus keracunan sebesar 13,5
persen.
Saat ini tingkat keamanan dari pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) masih rendah. PJAS sendiri adalah pangan siap saji yang ditemui
di lingkungan sekolah dan secara umum dikonsumsi oleh sebagian besar anak
sekolah. Selain itu berdasarkan pengawasan yang dilakukan BPOM periode
2008-2011 menunjukkan bahwa sekitar 40-44 persen jajanan anak sekolah ini tidak
memenuhi syarat. Kondisi ini merupakan masalah yang serius karena dapat
memperburuk status gizi anak akibat terganggunya asupan gizi. Padahal studi
yang dilakukan oleh IPB, Bogor tahun 2004 diketahui bahwa jajanan anak sekolah
ini menyumbang 36 persen kebutuhan energi anak. Jajanan ini mencakup makanan di
kantin dan juga pedagang di sekitar lingkungan sekolah.
Ada beberapa potensi masalah dari pangan jajanan anak
sekolah ini yaitu:
1.
Mengandung pemanis buatan secara berlebihan
2.
Mengandung bahan pewarna yang seharusnya tidak digunakan untuk makanan, seperti
rhodamin B (untuk warna merah) dan methanil yellow (untuk warna kuning)
3.
Mengandung bahan makanan berbahaya seperti boraks atau formalin
4.
Buruknya higien (tidak mencuci tangan sebelum mempersiapkan makanan) dan
sanitasi (tidak tersedianya air bersih) sehingga bisa memicu terjadinya cemaran
mikroba dan zat kimia.
5.
Upaya yang saat ini telah dilakukan adalah pengawasan dengan melakukan
sampling dan pengujian jajanan anak (secara kualitatif dan kuantitatif) serta
mengoperasionalkan mobil laboratorium keliling.
Dari
kasus diatas dapat diketahui bahwa zat-zat yang terkandung dalam JAS merupakan
zat yang sangat berbahaya apabila dikonsumsi dan masuk kedalam tubuh. Efek yang
ditimbulkan dari zat-zat berbahaya yang terkandung dalam JAS bisa memberikan
dampak jangka panjang. Selain itu dari fakta diatas BPOM menyatakan 40-44
persen JAS tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi, hal tersebut sangat
mempengaruhi asupan gizi yang diterima oleh tubuh anak-anak sekolah.
Dalam
hal ini kekritisan konsumen sangat diperlukan, pengetahuan mengenai zat-zat
berbahaya yang terkadndung dalam makanan sangat diperlukan karena dengan hal
tersebut konsumen dapat kritis dalam memilih makanan. Selain itu juga
kelengkapan informasi yang diberikan oleh produsen mengenai bahan-bahan yang terndung
dalam JAS sangat diperlukan, sebab dari informasi tersebut produsen dapat
membantu konsumen untuk memilih mana makanan yang aman untuk dikonsumsi.
Kenyataan
ini sangat bertolak belakang dengan peraturan yang diatur dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen. Seharusnya konsumen mendapatkan jaminan terhadap makanan
yang dikonsumsinya, dalam hal kesehatan dan kelayakan makanan. Karena akan
memberi dampak terhadap asupan gizi konsumen, khususnya konsumen anak-anak.
Dengan
adanya penelitian ini Penulis berharap agar produsen dan konsumen memahami dan
wajib berhati-hati atas makanan atau jajanan yang diproduksi atau akan
dikonsumsi. Untuk penjelasan masalah tersebut diatas akan dibahas di Bab-bab
selanjutnya dalam penelitian ini.
1.2.Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dari makalah ini adalah :
1. Zat
– Zat apa saja yang terkandung dalam JAS dan batas minimun yang boleh digunakan
dalam JAS ?
2. Faktor
apa saja yang menyebabkan konsumen (anak sekolah) cenderung mengkonsumsi
JAS yang mengandung zat – zat yang berbahaya
?
3. Bagaimana
Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam mengatur
tentang Hak – Hak Konsumen ?
4. Bagaimana
upaya pencegahan dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Konsumen terhadap
pelanggaran JAS yang dilakukan oleh Produsen ?
1.3.Tujuan
Masalah
Tujuan
dari makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui Zat – zat yang terkandung dalam JAS dan batas minimum yang boleh
digunakan dalam JAS.
2. Untuk
mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan konsumen (anak sekolah) cenderung
mengkonsumsi JAS yang mengandung zat – zat yang berbahaya.
3. Untuk
memahami Undang – Undang No. 8 Tahun 1990 tentang Perlindungan Konsumen dalam
mengatur tentang hak – hak Konsumen.
4. Untuk
mengetahui upaya pencegahan dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Konsumen
terhadap pelanggaran JAS yang dilakukan oleh Produsen.
BAB II
2.1. Zat – zat yang Terkandung dalam JAS dan Batas
Minimum yang Boleh digunakan dalam JAS
Pangan jajanan memegang peranan yang cukup penting dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak–anak
usia sekolah. Hasil survei yang
dilakukan menyebutkan bahwa kebutuhan energi anak sekolah diperoleh dari pangan
jajanan yang dikonsumsinya. Akan tetapi,
tingkat keamanan pangan jajanan tersebut sangat memprihatinkan. Penyalahgunaan
bahan kimia berbahaya seperti formalin dan rhodamin B oleh produsen pangan
jajanan adalah salah satu contoh rendahnya tingkat pengetahuan produsen
mengenai keamanan pangan jajanan. Ketidaktahuan produsen mengenai
penyalahgunaan tersebut dan praktek higiene yang masih rendah merupakan faktor utama penyebab masalah
keamanan pangan jajanan. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan penyakit
akibat pangan pada anak–anak baik secara akut maupun kronis.
Secara rutin kami melakukan
monitoring Jajanan Anak Sekolah (JAS), dan pada pelaksanaannya menggunakan
kerangka sampling acak secara representatif. Survei dilaksanakan di beberapa
sekolah hampir di seluruh ibukota provinsi di Indonesia
oleh 26 Balai Besar/ Balai POM RI.
Laporan ini memaparkan hasil
monitoring JAS yang meliputi jenis pangan jajanan yang sering tidak memenuhi
syarat, karena penggunaan bahan tambahan pangan yang melebihi batas,
penyalahgunaan bahan berbahaya yang seharusnya tidak boleh digunakan dalam
pangan, serta cemaran mikroba yang mencerminkan kualitas mikrobiologi pangan
jajanan anak sekolah.
Pada
monitoring ini dilakukan juga pengamatan terhadap penyalahgunaan bahan
berbahaya yang dilarang untuk pangan
seperti rhodamin B3, formalin,
dan boraks Berdasarkan data Kejadian Luar Biasa pada JAS, kelompok siswa sekolah
dasar (SD) paling sering mengalami keracunan pangan. Berikut ini peraturan
mengenai cemaran mikroba dan bahan tambahan pangan yang dimonitor beserta jenis
pangannya.
Berikut ini peraturan
mengenai cemaran mikroba dan bahan tambahan pangan yang dimonitor beserta jenis
pangannya (Tabel 1). Pada monitoring ini dilakukan juga pengamatan terhadap
penyalahgunaan bahan berbahaya yang dilarang untuk pangan seperti rhodamin B3,
formalin1, dan boraks1.
Tabel 1. Batas maksimum pengawet,
pemanis, dan cemaran mikroba dalam beberapa jenis pangan JAS.
Parameter
|
Minuman Merah
(mg/l)
|
Sirup
(mg/l)
|
Jeli, Agar –Agar
(mg/kg)
|
Es
(mg/kg),
|
Mie
(mg/kg)
|
Bakso
(mg/kg)
|
Kudapan
(mg/kg)
|
Natrium Benzoat1
|
600
|
600
|
1000
|
||||
Sakarin2
|
500
|
500
|
100
|
300
|
|||
Siklamat2
|
1000
|
1000
|
250
|
250
|
|||
Cemaran Mikroba1
1. ALT
|
2.102 kol/ml
|
5.102 kol/ml
|
104 kol/g
|
104 kol/ml
|
106 kol/g
|
105 kol/g
|
106 kol/g
|
2. MPN Coliform
|
20 kol/ml
|
20 kol/ml
|
20 kol/g
|
<3 kol/ml
|
10 kol/g
|
Keterangan:
1. Permenkes
RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan dan Bahan Berbahaya
2. Keputusan
Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1.4547 Tahun 2004 tentang Persyaratan
Penggunaan BTP Pemanis Buatan dalam Produk Pangan
3. Permenkes
RI No. 239/Menkes/Per/V/85 tentang Zat Warna Berbahaya
4. Keputusan
Dirjen POM No. 03726/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam
Makanan
2.2. Faktor yang menyebabkan
anak mengkonsumsi JAS yang berbahaya
Jajanan Anak Sekolah memang sangat terjangkau bagi anak-anak karena
beberapa hal yang mendukung sehingga anak lebih cenderung mengkonsumsi Jajanan
di area sekitar sekolahnya.
Dari data yang kita peroleh melalui wawancara kepada 5 orang anak dan
orang tuanya masing-masing, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.
Para orang tua cenderung kurang
dalam mengawasi perilaku anak-anaknya yang senang mengkonsumsi jajan di
sekolah.
2.
Bagi para produsen atau penjual
makanan hanya memikirkan keuntungan yang didapatkan dari pada efek buruk yang
di akibatkan oleh jajanan yang diproduksinya apabila mengunakan campuran
zat-zat berbahaya dalam proses produksi. Bagi penjual yang terpenting jajanan
yang mereka jual laku.
3.
Anak-anak dalam hal ini sebagai konsumen utama
tidak mengetahui bahaya mengkonsumsi jajanan tersebut dan cenderung mereka
hanya ingin membeli karena jajanan tersebut dikemas dengan menarik dan berwarna
mencolok.
4.
Pihak sekolah juga seakan
membiarkan siswa-siswinya membeli jajanan diluar area sekolah, yang seharusnya
dilakukan adalah melarang mereka demi kesehatan siswa-siswinya.
Dari sekian faktor-faktor diatas seharusnya perlu adanya kesadaran dari
berbagai pihak yang khususnya produsen dan konsumen. Produsen memiliki peran
utama dalam hal ini dan harus lebih memikirnya kualitas dan kuantitas dari
jajanan yang mereka produksi, sehingga dapat memberikan dampak yang positif bagi
generasi penerus bangsa, bukan sebaliknya malah merusak.
Perlunya kehati-hatian konsumen dalam memilih makanan atau jajanan yang
akan dikonsumsi. Orang tua juga sepatutnya mengawasi dan menghimbau
anak-anaknya agar tidak membeli jajan sembarangan yang belum tentu higienis.
Sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit yang bisa ditimbulkan jika
mengkonsumsi JAS yang mengandung zat-zat yang berbahaya.
2.3. Hak-hak konsumen
yang Diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Hak konsumen adalah :
1.
hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
2.
hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
Bagi konsumen hak ini harus mencakup aspek kesehatan secara fisik, dan
dari perspektif keyakinan/ajaran agama tertentu.
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang dan jasa yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah terdiri dari
beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat memilih.
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi barang
menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya terbatas
informasi pada satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek untuk
produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan antara satu merk
dengan merk lain untuk produk sejenis.
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan.
Ada dua instrumen dalam mengakomodir hak untuk didengar: Pertama,
Pemerintah melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka
dengan konsumen; Kedua, melalui pembentukan organisasi konsumen swasta dengan
atau tanpa dukungan pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi
konsumen yang mewakili konsumen.
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
Dengan hak ini, konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam
rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin
keadilan sosial. Hak ini dapat dipenuhi dengan cara: 1) Konsultasi hukum,
diberikan pada konsumen menengah ke bawah. Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan
oleh organisasi konsumen dan atau instansi pemerintah yang mengurusi
perlindungan konsumen; 2) Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif
(class action); 3) Adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa
tersedianya lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh
pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap
pemerintah kota / kabupaten.
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen
Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus berpendidikan secukupnya,
dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam pendidikan formal maupun melalui
pendidikan informal yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemenuhan hak untuk mendapat
pendidikan juga menjadi kontribsi dan tanggung jawab pelaku usaha.
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif.
Tindakan diskriminatif secara sederhana adalah adanya disparitas,
adanya perlakukan yang berbeda untuk pengguna jasa/produk, dimana kepada
konsumen dibebankan biaya yang sama. Oleh karena itu adanya pelaku usaha yang
menyediakan beberapa sub kategori pelayanan dengan tarif yang berbeda-beda,
susuai dengan tarif yang dibayar konsumen tidak dapat dikatakan diskriminatif.
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi oleh pelaku usaha atas kerusakan,
pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku usaha tersebut. Bentuk ganti eugi
dapat berupa: 1) pengembalian uang; 2) penggantian barang dan atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya; 3) perawatan kesehatan dan atau pemberian
santunan (pasal 19 Ayat (2) UUPK).
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya
Selain hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak
konsumen, seperti UU Kesehatan. Oleh karena itu dimungkinkan adanya hak
konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing.
2.4.
Upaya pencegahan dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Konsumen terhadap
pelanggaran JAS yang dilakukan oleh Produsen
Jajanan
anak sekolah memang harus sangat diperhatikan
oleh pemerintah, karena di zaman
era globalisasi yang semakin berkembang dan perkembangan pengetahuan produsen
mengenai zat-zat berbahaya pengganti zat zat makanan yang cenderung mahal, maka
dengan mudahnya produsen dapat mengganti
zat yang digunakan dalam bahan makanan dengan zat-zat berbahaya. Untuk
itu perlu adanya tindakan dari pemerintah untuk menangani hal-hal semacam ini.
Maka dari itu dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
terdapat didalamnya ketentuan mengenai organisasi-organisasi pemerintah yang bertugas
melindungi konsumen yang merasa dirugikan serta tatacara penyelesaian
sengketanya.
A.
Organisasi pemerintah
1. Badan
Perlindungan Konsumen Nasional yang dimana pada pasal 34 ayat (1) huruf F yang
menyatakan bahwa tugas dari organisasi ini adalah “menerima pengaduan tentang
perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat, atau pelaku usaha”.
2. Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat pada pasal 44 ayat (3) huruf D
menyatakan bahwa tugas dari organisasi ini adalah membantu konsumen dalam
memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
B.
Penyelesaian Sengketa
Melalui Pengadilan, Pasal 45 menyebutkan:
1. Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
4. Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal
46
(1). Gugatan atas
pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang
konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. kelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk
badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
d. pemerintah
dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit.
(2). Gugatan
yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,
atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3). Ketentuan
lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
B.Penyelesaian
Sengketa di luar Pengadilan
Pasal
47
Penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen.
Selain itu dalam penyelesaian sengketa konsumen
pemerintah juga menyediakan organisasi pemerintah untuk menyelesaikan sengketa
perlindungan konsumen.
BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal
49
1. Pemerintah
membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
2. Untuk
dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
warga negara Republik Indonesia;
b.
berbadan sehat;
c.
berkelakuan baik;
d.
tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f.
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
3. Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsure
konsumen, dan unsur pelaku usaha.
4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang.
5. Pengangkatan
dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal
50
Badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)
terdiri
atas:
a.
ketua merangkap anggota;
b.
wakil ketua merangkap anggota;
c.
anggota.
Pasal
51
1. Badan
penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sekretariat.
2. Sekretariat
badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat.
3. Pengangkutan
dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian
sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
52
Tugas
dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau
arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan
konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan
pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan
kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undangundang
ini;
e. menerima
pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen;
g. memanggil
pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
h. memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i.
meminta bantuan
penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang
sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi
panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j.
mendapatkan, meneliti
dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan
dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan
dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l.
memberitahukan putusan
kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang
ini.
Pasal
53
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian
sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
BAB III
KESIMPULAN
Jajanan
merupakan makanan favorit bagi anak-anak sekolah khususnya anak sekolah dasar,
selain murah, jajanan juga sangat praktis untuk disantap waktu anak SD sedang
beristirahat di sekolah. Berbagai macam jajanan dijajakan di sekolahan sebagai
contoh sirup, agar-agar, mie, bakso, jelly, kudapan, dll. Berbagai makanan
tersebut sangat beragam sehingga para
siswa dapat memilihnya. Perlu adanya kesadaran dari berbagai pihak yang
khususnya produsen dan konsumen. Produsen memiliki peran utama dalam hal ini
dan harus lebih memikirnya kualitas dan kuantitas dari jajanan yang mereka
produksi, sehingga dapat memberikan dampak yang positif bagi generasi penerus
bangsa, bukan sebaliknya malah merusak. Agar generasi penerus bangsa tidak
mendapatkan hambatan-hambatan dalam perkembangan kehidupannya.
Orang tua juga sepatutnya mengawasi dan menghimbau anak-anaknya agar
tidak membeli jajan sembarangan yang belum tentu higienis. Sehingga dapat
terhindar dari berbagai penyakit yang bisa ditimbulkan jika mengkonsumsi JAS
yang mengandung zat-zat yang berbahaya. Dengan adanya hak-hak konsumen yang telah
diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan
implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga telah
mengatur mengenai organisasi pemerintah dan penyelesaian sengketa dalam upaya
perlindungan yang dilakukan pemerintah untuk memprotect jajanan anak yang ada
di kawasan Sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Dengan hak-hak yang telah tercantum dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen ini, konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka
mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan
sosial. Untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang tersebut maka
dibutuhkan peran serta masyarakat pada umumnya dan orang tua pada khususnya
dalam ikut mengawasi Jajanan Anak Sekolah (JAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar