PERTUMBUAHAN DAN PERKEMBANGAN
SISTEM PERADILAN PIDANA
A.
Pengertian
Istilah dan komponen sistem peradilan pidana
1. Peristilahan
Istilah
“Criminal Justice System” atau Sistem
Peradilan Pidana (SPP) kini telah menjadi istilah yang menunjukkan mekanisme
kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan
sistem.
Ramington
dan Ohlin mengemukakan sebagai
berikut:
Criminal justice system dapat diartikan
sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi
antara peraturan perundang-undangan , praktik administrasi dan sikap atau
tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu
proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien
untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
Mardjono
memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah,
sistem pengendallian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisisan,
kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana.
Selanjutnya
dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
b. Menyelesaikan
kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan
agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Bertitik
tolak dari tujuan tersebut, Mardjono
mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama
dan dapat membentuk suatu “Integrated criminal justice system”
2.
Bentuk
Pendekatan dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam
sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan
normative, administratif, dan sosial.
Pendekatan
Normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakkan hukum semata-mata.
Pendekatan
Administratif memandang keempat aparatur penegak hokum sebagai suatu organisasi
manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal
maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku
dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi.
Pendekatan
sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu sistem social, sehingga masyarakat secara keseluruhan
ikut bertanggung jawab atas semua keberhasilan atau ketidakberhasilan dari
keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem
yang digunakan adalah sistem sosial.
3.
Bentuk
Pendekatan Normatif dalam Sistem Peradilan Pidana
Packer
membedakan pendekatan Normatif kedalam dua model, yaitu: crime control model dan due
process model, dan pembedaan dua model tersebut sesuai dengan kondisi
social, budaya dan structural masyarakat Amerika Serikat. Perbedaan dari kedua
model system peradilan terdapat dalam table berikut:
Crime Control Model
|
Due process model
|
|
5 karakteristik
|
values
|
5 karakteristik
|
1.
Represif
2.
Presumption of guilt
3.
Informal fact finding
4.
Factual guilt
5.
Efisiensi
|
mekanisme
|
1.
Preventif
2.
Presemption of inoucence
3.
Formal adjudicative
4.
Legal guilt
5.
Efektifitas
|
Avirmative model
|
tipologi
|
Negative model
|
Samuel walker
menyebut bahwa model-model yang dikembangkan oleh packer merupakan pembedaan
yang klasik dalam system peradilan pidana dan pembedaan kedua model tersebut
merupakan hasil konflik antara pemikiran yang “punishment” atau “rehabilitation”.
4.
Komponen
Sistem Peradilan Pidana
Komponen
system peradilan pidana yang lazim diakui , baik dalam pengetahuan mengenai
,kebijakan pidana (criminal policy)
maupun dalam lingkup praktik penegakkan hukum, terdiri dari unsur kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Namun demikian, apabila
system peradilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrument
dari suatu kebijakan criminal, maka unsure yang terkandung didalamnya termasuk
juga pembuat undang-undang sebagaimana dikemukakan oleh Nagel yang tidak juga memasukkan kepolisian sebagai salah satu
komponen system peradilan pidana.
Van Bammelen,
mengingatkan bahwa penjatuhan pidana yang diputus oleh hakim, dalam
pelaksanaannya oleh petugas pemasyarakatan bersifat variatif sehingga peranan
dan pengaruh hakim dapat dikatakan hampir tidak ada, sehingga peranan dan
kedudukan hakim sebagai “key figure”
dalam sistem peradilan pidana sangat kecil. Kebijakan Hakim yang sangat besar
dalam penjatuhan pidana seimbang dengan perannya yang sangat kecil dalam
kebijakan penuntutan dan pelaksanaan pidana. Konsekuensi yang sangat penting
dari kedudukan tersebut adalah kritik terhadap penjatuhan pidananya. Kritik
tersebut saat ini ditunjukkan terhadap kemandirian peranan seorang hakim dalam
melakukan tugasnya.
B.
Pendekatan
Sistem dalam Peradilan Pidana
Berbicara
tentang pertumbuhan dan perkembangan pendekatan system dalam peradilan pidana
tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi kepolisian sebgai
satu-satunya organisasi yang berhadapan langsung dengan penanggulangan
kejahatan dalam masyarakat.
Sejarah
perkembangan penanggulangan kejahatan di Eropa dan Amerika serikat menunjukkan
bahwa instansi pertama dan terdepan dalam menghadapi kejahatan adalah
kepolisian.
Pada
awal mula pembentukkan organisasi kepolisian di Inggris pada Tahun 1818,
terdapat upaya menentang pembentukannya. Karakteristik polisi sebagaimana
dicita-citakan dalam Negara demokrasi diatas memerlukan transparansi
tugas-tugas penegakkan hukum sehingga hokum dapat ditegakkan dan keadilan dapat
dicapai tanpa pengorbanan semua Hak Asasi Masyarakat yang seharusnya
dilindungi. Hanya dengan cara demikian, kekhawatiran masyarakat akan munculnya
suatu “Negara polisi” atau “police state” tidak akan terjadi.
Pada
tahun 1962, suatu komisi dibentuk oleh Raja Inggris, dikenal dengan nama The Royal Commission telah membuat
sebuah laporan yang mengungkapkan bahwa, Kepolisian harus tanggap terhadap
permasalahan hukum dan dapat melaksanakannya dengan baik dan kemerdekaan
Inggris tidak bergantung pada suatu bentuk khusus kepolisian melainkan pada
kewibawaan parlemen dan the rule of law.
Di
Negara Demokrasi tampak bahwa aparat kepolisian selalu dihadapkan pada dua
konflik kepentingan, yaitu kepentingan memelihara ketertiban di satu sisi dan
kepentingan mempertahankan asas legalitas di sisi lain. Konflik yang sama juga
terjadi di Amerikia Serikat, bahkan semakin kompleks sifatnya.
Konflik
yang terungkap dari pernyataan berikut:
1) Polisi
di Amerika Serikat harus konsisten dengan Undang-Undang.
2) Berdasarkan
Studi yang dilakukan oleh Komisi Wickersham dari The National Committee of Law Observance and Enforcement telah
ditemukan beberapa praktik yang sangat sadis dan mengerikan sehingga sangat
jauh dari sentuhan intelektual, seperti teknik Interogasi yang mengakibatkan
tersangka membuat pengakuan yang merugikan dirinya di sidang pengadilan.
Konsekuensi
logis dari praktik tersebut ialah bahwa masalah mendasar bukan terletak pada,
apakah petugas kepolisian sudah melakukan tugasnya berdasarkan “due process of law” akan tetapi patut
dipertanyakan apakah petugas kepolisian sudah melakukan tugasnya dengan
tindakan yang beradab?
Bertitik
tolak dari kenyataan praktik tugas kepolisian di Inggris dan Amerika Serikat.
Dalam melaksanakan upaya tersebut telah muncul berbagai perdebatan antara
kelompok yang menitikberatkan pada kepentingan ketertiban masyarakat dan
kelompok yang menghendaki agar petugas kepolisian secara tegas menghormati
semua ketentuan dalam sistem hokum yang berlaku terlepas dari apakah tindakan
itu dipandang sangat mendesak dalam praktik. Kelompok pertama terdiri dari para
petugas kepolisian dan kelompok kedua terdiri atas para penasehat hukum, hakim,
dan ahli hukum.
Pendekatan
hukum dan ketertiban yang bertumpu pada asas legalitas telah menimbulkan
penafsiran ganda bagi petugas kepolisian . kedua penafsiran tersebut adalah:
1) Penggunaan
hukum sebagai instrument dari ketertiban dimana hukum pidana berisikan
perangjat hukum untuk memelihara keertiban dalam masyarakat.
2) Penggunaan
hukum sebagai pembatas bagi petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugas atau
dengan kata lain: hukum pidana bertugas
melindungi kemerdekaan individu suatu system ketertiban masyarakat.
Pendekatan
hukum dan ketertiban dalam praktek telah mengalami kegagalan terutama dalam
menekan angka kriminalitas di Amerika Serikat sehingga muncul gagasan “pendekatan system atau system approach”
didalam mekanisme administrasi peradilan pidana. Pendekatan ini dalam teori
kriminologi dan prevensi kejahatan dikenal sebagai “criminal justice system model”.
Dalam
praktik penegakkan hukum, pihak kepolisian menghadapi berbagai kendala, baik yang
bersifat operasional maupun prosedur legal dan kemudian kendala ini tidak
memberikan hasil yang optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas,
bahkan terjadi sebaliknya
Atas
dorongan Robert H. Jakson, Hakim
Agung pada Mahkamah Agung Amerika Serikat, telah dilaksanakan survey oleh The American Bar Association (ABA)
mengenai penegakan hukum. Jakson
juga memperingatkan kepada ABA bahwa penegakkan hukum yang efektif hanya
merupakan salah satu tujuan peradilan pidana dan perlindungan atas hak asasi
individu adalah tujuan yang sama pentingnya.
Alfred Blumstein,
sebagai ahli manajemen menerapkan pendekatan manajerial dengan bertopang pada
pendekatan system terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sejak saat
itu dalam penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat diperkenalkan dan
dikembangkan pendekatan system sebagai pengganti pendekatan hukum dan
ketertiban. Melalui pendekatan ini, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendiri
melainkan masing-masing merupakan unsure penting dan berkaitan satu sama lain.
Perkembangan
pendekatan system ini di Amerika Serikat dan di Beberapa Negara Eropa menjadi
model yang dominan dengan menitikberatkan pada “the administration of justice” serta memberikan perhatian yang sama
terhadap semua komponen dalam penegakkan hukum.
Di
dalam uraian perkembangan pendekatan system dalam peradilan pidana kita perlu
mengamati pendapat Steenhuis tentang pendekatan fungsional dalam hukum pidana.
Pendekatan ini bersumber pada teori “kontrak
social” yang dikaitkan dengan tujuan hukum pidana.
Teori
kontrak social mengemukakan: individu menyerahkan sebagian kebebasannya kepada
Negara dengan tujuan kebebasannya dapat dilindungi oleh Negara.
Steenhuis
menilai ada terdapat dua macam individu, yaitu
1) The law abiding citizen
(warga taat hukum) yang telah memberikan mandate kepada Negara untuk
mempertahankan hukum pidana.
2) The law breaker
(warga pelanggar hukum) yaitu subjek dari penerapan hukum pidana yang
memerlukan perlindungan terhadap kemungkinan tindakan penguasa.
Selanjutnya
Steenhuis mengemukakan lebih jauh
bagaimana pemerintah (Negara) sebagai wakil yang sah memperlakukan kedua macam
individu tersebut dalam suatu Negara demokrasi (di Belanda).
Pertama,
dilihat dari individu sebagai “warga pelanggar hukum”, tersangka, subjek hukum
(undang-undang) acara pidana, maka kedudukan “warga pelanggar hukum”
dikelilingi oleh banyak perlindungan. Kedua, dilain pihak, dalam kenyataannya
hukum pidana tidak lagi mampu mengatasi kejahatan-kejahatan serius dalam
masyarakat.
Berdasarkan
kelemahan praktik penegakkan hukum (di Belanda), steenhuis menyimpulkan bahwa:
1) Terdapat
ketidakseimbangan antara tindakan yang diberikan pemerintah kepada seorang
pelaku kejahatan dan terhadap seorang warga masyarakat yang justru taat kepada
hukum.
2) Penegakkan
hukum tidak akan mencapai kemajuan jika dalam praktek peradilan, pelaku
kejahatan sering diperlakukan dan diberi kedudukan yang lebih baik dibandingkan
dengan bukan pelaku kejahatan atau warga masyarakat yang taat kepada hukum.
C.
Model-model
Sistem Peradilan Pidana
1.
Dikotomi
Sistem Peradilan Pidana
a. Pendahuluan
Tulisan
ini bertujuan menyampaikan informasi sekitar masalah dikotomi dalam system
peradilan pidana yaitu sistem inkuisitur dan sistem akusatur dan perkembangan
terakhir mengenai kedua system tersebut di Negara-negara yang menganut common law system.
b. Asal-usul
dan perkembangan sistem inkuisitur
Sistem
ini berkembang didaaratan Eropa sejak Abad 13 - abad 19. Cara penyelidikan dan
pemeriksaan dalam system ini dilakukan dengan cara rahasia. Tahap pertama yaitu
penyidik meneliti apakah suatu kejahatan telah dilakukan kemudian melakukan
identifikasi kepad pelakunya. Apabila sudah diketahui dan ditangkap, kemudian
tahap kedua, memeriksa pelaku kejahatan tersebut, dalam tahap ini tersangka
ditempatkan terasing, pemeriksaan tersangka dan para saksi terpisah dan
dilakukan dibawah sumpah serta dicatatkan di BAP. Kepada tersangka tidak
diberitahukan isi tuduhan serta kejahatan yang telah dilakukan. Salah satu
tujuannya yaitu untuk memperoleh pengakuan. Khususnya untuk kejahatan berat,
apabila tersangka tidak mengakui perbuatannya maka petugas pemeriksa
memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan.
Setelah
selesai, petugas pemeriksa akan menyampaikan BAP ke Pengadilan kemudian
pengadilan akan memeriksa perkara tersangka hanya atas dasar hasil pemeriksaan.
Selama pemeriksaan persidangan , tertuduh tidak boleh dihadirkan di persidangan
dan tidak berhak mendapat pembelaan dan dalam kenyataannya persidangan
dilaksanakan secara tertutup.
Apabila
dilihat, penyelesaian perkara pidana pada masa itu sedemikian singkat dan
sederhana, tetapi tidak tampak sama sekali perlindungan dan jaminan hak asasi
seseorang yang tersangkut dalam perkara pidana.
Timbulnya
gerakan revolusi Perancis mengakibatkan banyak bentuk prosedur lama dalam
peradilan pidana dianggap tidak sesuai dengan perubahan iklim social dan
politik semasa revolusi. Khususnya dalam bidang peradilan pidana dianggap tidak
sesuai dengan perubahan iklim social dan politik semasa revolusi. Sehingga
muncul system peradilan modern yang bernama the
mixed type.
Gambaran
model the mixed type yaitu, Tahap
pemeriksaan hampir sama dengan tahap inkuisitur, penyidikan dilakukan oleh the public prosecutor. Dalam pelaksanan
ini terdapat seorang investigating judge
yaitu seorang pejabat yang ditunjuk untuk mengumpulkan bukti;. Pengambilan
bukti dilakukan dengan dapat dihadiri oleh kedua pihak baik tersangka maupun
jaksa yang terlibat dalam perkara. Pada akhir proses pemeriksaan pendahuluan
atau sebelumnya, tertuduh dan penasehat hukum memperoleh hak yang tidak
terbatas untuk meneliti berkas perkara.
Setelah proses pemeriksaan pendahuluan,
dilandaskan kepada system akusatur. Tahap
ini dimulai dengan menyampaikan berkas perkara kepada public prosecutor yang harus menentukan apakah perkara akan
diteruskan ke pengadilan. Peradilan dilakukan secara terbuka, kddua belah pihak
hadir di persidangan dan memperoleh hak dan kesempatan yang sama untuk saling
menajukan argumentasi dan berdebat. Pada prinsipnya, kedua bukti yang telah
dikumpulkan oleh kedua belah pihak dihadirkan dipersidangan dan diuji
kebenarannya. Dalam persidangan perkara, dipimpin oleh seorang hakim
professional.
c. Perkembangan
terakhir dalam system peradilan pidana.
Dikotomi
dalam system peradilan pidana yang telah berabad-abad sekarang ini tampaknya
telah hilang ketajaman perbedaannya. Yang mana telah ditemukannya system
campuran (the mixed type) dalam system peradilan pidana, sehingga batas
pengertian antara system inkuisitur dan akusatur sudah tidak dapat dilihat lagi
secara tegas. Untuk menghindar dari kesimpang siuran diatas, tampaknya kini di
daratan eropa, terutama di Negara-negara yang menganut common law system,
system peradilan pidana mengenal dua model system, yakni “the adversary model dan the non adversary model”.
Advesary
model dalam system peradilan pidana menganut prinsip sebagai berikut:
1) Prosedur
peradilan pidana harus merupakan suatu sengketa “dispute” antara kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama dimuka
pengadilan.
2) Tujuan
utama prosedur sebagaimana dimaksud pada butir 1 ialah sengketa yang timbul
disebabkan timbulnya kejahatan.
3) Penggunaan
cara pengajuan sanggahan atau pernyataan dan adanya lembaga jaminan dan
perundingan bukan hanya merupakan suatu keharusan melainkan merupakan suatu hal
yang sangat penting.
4) Para
pihak memiliki fungsi yang otonom yang jelas, peran penuntut umum adalah
melakukan penuntutan. Peran tertuduh adalah menolak atau menyanggah tuduhan.
Di
lain pihak, Non-advesary model menganut prinsip bahwa:
1) Proses
pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan berkesinambungan serta dilaksanakan
atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan (presemption of guilt)
2) Tujuan
utama prosedur pada butir 1 diatas adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya
perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah penjatuhan hukuman
dapat dapat dibenarkan karenanya.
3) Penelitian
terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak, oleh hakim dapat berlaku tidak
terbatas dan tidak tergantung pada atau tidak perlu memperoleh izin para pihak.
4) Kedudukan
masing-masing para pihak antara penuntut umum dan tertuduh tidak lagi otonom
dan sederajat.
5) Semua
informasi yang dapat dipercaya dapat digunakan guna kepentingan pemeriksaan
pendahuluan ataupun di persidangan. Tertuduh merupakan objek utama dalam
pemeriksaan.
2.
Dari
sistem Inkuisitor ke Akusator
The right to remain silent
atau hak untuk tidak menjawab pertanyaan atau hak untuk diam telah mengalami
perkembangan ratusan tahun yang lampau di Inggris, dan sering merupakan pokok
pertentangan antara dua system hukum acara pidana yaitu: sistem akusatur dan
system inkuisitur. Kedua sistem tersebut dibedakan secara mendasar dalam metode
utama penyelidikan, penyidikan dan dalam proses peradilan, yaitu meletakkan
beban pembuktian pada tertuduh untuk membuktikan bagi kepentingan dirinya.
Pengadilan Common Law tidak menghendaki metode ini dan kemudian mengutamakan
bukti-bukti yang bebas dan mandiri. Sebaliknya, pengakuan yang merupakan unsure
pokok dalam inkuisitur digunakan atau dianutoleh pengadilan Agama. Dalam
pertentangan kedua system ini ternyata system common law telah berhasil
mempertahankan dan menyelamatkan system pemerintahan yang demokratis dan
mempertahankan penggunaan system akusatur seperti halnya dilakukan oleh Negara
Amerika Serikat yang dicantumkan di konstitusi negaranya.
Namun
di Negara Inggris, irlandia Utara dan Singapura dalam konstitusinya menolak
“hak untuk tidak menjawab” dengan tujuan agar dapat mengendalikan kejahatan,
memaksa tersangka mengaku, dan dengan sendirinya akan mengefektifkan
penuntutan.
Pembatasan
penggunaan hak tersebut akan menggeser system peradilan pidana dari system
akusatur yang menitikberatkan pada pembuktian dengan saksi dan bukti nyata,
kepada system inkuisitur yang menitikberatkan pada proses interogasi tersangka
untuk memperoleh bukti atas kesalahannya.
Dalam
konteks KUHAP Nomor 8 tahun 1981, memang hak tersebut tidak secara eksplisit
dinyatakan dalam Undang-undang ini sehingga perubahan yang terjadi di tiga
Negara tersebut, terutama di Inggris tidak akan membawa dampak yang berarti
bagi perkembangan Hukum Acara Pidana di Indonesia.
3.
Sistem
Inkuisitor dan Akusator dalam Konteks Sistem Hukum civil Law dan Common Law
Nico Jorg, Stewart Field, dan
Chrisje Brants telah membahas secara luas system
inkuisitor dan akusator dalam konteks system hukum civil law dan common law
yang diwakili oleh system peradilan pidana di belanda, di Inggris, dan di
wales. Asumsi mereka bahwa, bahwa kedua system tersebut dapat saling bersamaan
dan bahkan saling melengkapi dalam praktik peradilan pidana.
Bertolak
pada perbedaan cara kerja kedua model system peradilan (inkuisitor dan
akusator), dapat dikatakan bahwa penemuan kebenaran (truth finding) dan kejujuran (fairness)
merupakan kata kunci yang sangat penting, khas, dan tujuan dari system
peradilan pidana. Sekalipun ketiga unsure tersebut sama pentingnya, akan tetapi
sering terjadi konflik dan pada saat yang sama menuntut legitimasi dari kedua
model tersebut.
Bagi
system peradilan pidana di Indonesia, sampai saat ini penilaian ahli hukum
Indonesia, bahwa system peradilan Indonesia menggunakan “mixed sistem” yaitu pada tahap investigasi merujuk pada system
inkuisitor tetapi pada tahap persidangan digunakan system akusator. Apakah
penilaian tersebut sesuai dengan kenyataan dalam praktik peradilan, diperlukan
penelitian yang mendalam dari ahli hukum dan praktisi hukum.
Damaska
mengupas lebih dalam mengenai system peradilan pidana dalam konteks system
hukum civil law dan common law dengan menggunakan tolok ukur yang ia sebut
sebagai tiga unsur penting dalam proses peradilan pidana yaitu, Negara
(kekuasaan, akuntabilitas, dominasi, asumsi, dan tujuan) yang dikaitkan dengan
dua unsure penting dalam proses peradilan pidana, yaitu proses pra-sidang dan
tahap persidangan.
D. Tahap Kritis Dalam System Peradilan Pidana
1.
Pendahuluan
Asas Persamaan dimuka Hukum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Dengan
dikeluarkannya kitab Undanh-undang Hukum Acara Pidana (UU No 8/1981), merupakan
kehendak para pembuat undang-undang untuk menanamkan Identitas Pancasila dalam
tubuh peraturan perundang-undangan di Indonesia bukanlah sekedar tuntutan
emosional dan sikap tidak simpati terhadap system hukum liberal atau sosialis
melainkan sudah seharusnya merupakan tuntutan Negara Republik Indonesia sebagai
Negara Hukum dengan latar belakang etnis, geografis, social, ekonomi, dan
politik yang berbeda dengan Negara yang sudah maju, khususnya Negara barat.
Terjadinya
musibah dalam kehidupan hukum di Indonesia pada akhir-akhir ini, seperti
peradilan terhadap para hakim dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak
hukum yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat pelaksanaan penegakkan hukum,
talpaknya tidak harus selalu dikembalikan kepada masalah mentalita para
pelaksana penegak hukum (sebagaimana lazimnya dilontarkan masyarakat) melainkan
juga ada kemungkinan disebabkan karena memang nilai keadilan yang terkandung
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini sudah jauh dari
memadai, bahkan bertentangan dengan pendapat dan rasa “keadilan” masyarakat
kita.
Timbulnya
penemuan hukum baru dan pembentukan peraturan perundang-undangan baru terutama
sejak pemerintah orde baru cukup mengembirakan dan merupakan titik cerah dalam
kehidupan hukum di Indonesia. Perkembangan terakhir dalam kehidupan hukum acara
pidana di Indonesia ditandai dengan keberhasilan DPR RI mengesahkan rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pengganti HIR. Dalam KUHAP
secara mendasar terdapat 10 asas yang merupakan pedoman penyusunannya yakni,
sama kedudukannya dihadapan hukum, praduga tak bersalah, pemeriksaan dan
penyidikan secara formal, adanya rehabilitasi, cepat sederhana dan biaya
ringan, dll.
Apabila
diteliti dari kesepuluh asas dalam KUHAP, tampaknya bahwa KUHAP lebih menitik
beratkan kepada perlindungan atas harkat dan martabat tersangka atau terdakwa.
Sembilan diantaranya demi kepentingan hak asasi tersangka, dan asas kesepuluh
diperuntukan bagi pelaksanaan pengambilan keputusan pidana terutama pengawasan
bagi terpidana di lembaga pemasyarakatan.
Dari
keadaan ini jelas ada konsekuensinya, salah satunya adalah bahwa secara
negative KUHAP cenderung akan sangat menghambat kelancaran tugas aparat penegak
hukum (kepolisian) disatu pihak dan mengurangi dukungannya terhadap usaha
menempatkan hukum diatas segala kepentingan dan nilai yang tumbuh didalam
masyarakat dilain pihak. Namun demikian, secara positif dapat dikatakan bahwa
dengan KUHAP ini maka aparat penegak hukum (kepolisian) tidak akan sewenang
wenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, peradilan terhadap
tersangka atau terdakwa seperti yang terjadi selama ini.
2.
Asas
Persamaan di muka hukum dan Konteks Pasal 31 KUHAP
Guna
menguji sejauh manakah “asas persamaan di muka Hukum” ini benar dipertahankan
dan dianut dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan memusatkan
perhatian pada pasal 31 KUHAP yang mengatur perihal penangguhan penahanan.
Pasal 31 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
(1)
Atas
permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim,
sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan
atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
(2)
Karena
jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut
penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penjelasan resmi pasal 31 menjelaskan yang dimaksud
dengan “syarat yang ditentukan “ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau
kota. Masa penangguhan penahanan seorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk
“masa status tahanan”. Dari bunyi pasal 31 diatas dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Walaupun
tindakan penahanan dapat dilakukan pada tiap tingkatan pemeriksaan sebagaimana
tersebut dalam pasal 20 sampai dengan 30 KUHAP, namun demikian pada tiap
tingkat pemeriksaan pun, penahanan itupun dapat dimintakan penangguhannya oleh
tersangka atau terdakwa.
2) Tindakan
penangguhan penahanan oleh penyidik, penuntut umum atau hakim, hanya dapat
diberikan atas permintaan tersangka atau terdakwa.
3) Pasal
31 menyediakan 2 (dua) alternative pilihan bagi tersangka/terdakwa dalam
masalah penangguhan penahanan dapat dilakukan dengan jaminan uang atau orang.
Atau penangguhan penahanan dapat dilakukan tanpa jaminan uang atau jaminan
orang.
Dapat disimpulkan pula dalam pasal 31 KUHAP ini
hanyalah terdakwa atau tersangka yang dapat memberikan atau mengadakan jaminan
uang ataupun orang yang akan menikmati manfaat dari ketentuan pasal 31
dibandingkan dengan tersangka atau terdakwa yang tidak memiliki kemampuan
sebagaimana tersebut diatas.