Jumat, 25 November 2011

PERLINDUNGAN MEREK


BAB 1
PENDAHULUAN

1.    A. Latar Belakang Masalah
Pemanfaatan merek-merek terkenal pada saat sekarang sudah mulai marak, hal tersebut tidak lain karena menjanjikan keuntungan besar yang akan didapat apabila mempergunakan merek terkenal dari pada menggunakan mereknya sendiri. Apalagi pada saat krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti saat sekarang ini, banyak produsen yang mensiasati dengan cara mengkombinasikan barang-barang bermerek yang asli dengan yang bajakan, karena bajakan tersebut secara fisik benar-benar mirip dengan yang asli.

Produk-produk bermerek (luxrury good) asli tapi palsu (aspal) seperti baju, celana, jaket dan berbagai asesoris lainnya sangat mudah didapat dan ditemukan di kota-kota besar, peredarannyapun meluas mulai dari kaki lima sampai pusat pertokoan bergengsi. Salah satu daya tarik dari produk bermerek palsu memang terletak pada harganya yang sangat murah, sebagai contoh harga satu stel dan celana merek Pierre Cardin yang asli bisa mencapai Rp. 1,5 juta, untuk produk bajakan yang secara fisik sama bisa diperoleh hanya dengan harga Rp. 150.000,- selain itu untuk produk celana Levi’s seri 501 yang asli berharga Rp. 200.000,- sedangkan di kaki lima untuk jenis yang sama bisa dibeli hanya dengan harga Rp. 45.000,-

Banyak alasan mengapa banyak industri memanfaatkan merek merek terkenal untuk produk-produknya, salah satunya adalah agar mudah dijual, selain itu merek tak perlu repot-repot mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HaKI atau mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membangun citra produknya (brand image). Mereka tidak perlu repot repot membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to date, karena mereka tinggal menjiplak produk orang lain dan untuk pemasarannya biasanya “Bandar” yang siap untuk menerima produk jiplak tersebut.

Secara ekonomi memang memanfaatkan merek terkenal mendatangkan keuntungan yang cukup besar dan fakta dilapangan membuktikan hal tersebut, selain itu juga didukung oleh daya beli konsumen yang pas-pasan tetapi ingin tampil trendi. Jika dilihat dari sisi hukum hal itu sebenarnya tidak dapat ditolelir lagi karena Negara Indonesia sudah meratifikasi Kovensi Internasional tentang TRIPs dan WTO yang telah diundangkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1994 sesuai dengan kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia sudah harus menerapakan semua perjanjian-perjanjian yang ada dalam kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Inculding Trade in Counterfeit Good), penerapan semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi Negara Indonesia  sebagai anggota dari WTO (Word Trade Organization).

Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam dunia perdagangan dewasa ini merek adalah merupakan salah satu wujud karya intelektual manusia yang mempunyai peranan yang sangat menentukan karena penggunaan atau pemakaian merek pada perusahaan, tetapi juga mngandung aspek hukum yang luas baik bagi pemilik atau pemegang hak atas merek maupun bagi masyarakat sebagai konsumen yang memakai atau memanfaatkan barang atau jasa dari merek tertentu.

Merek mempunyai peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan penanaman modal. Merek dengan bran imagenya dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas dari suatu produk, sebab merek (branding) menjadi semacam “penjual awal” bagi suatu produk kepada konsumen. Dalam era persaingan sekarang ini memang tidak dapat lagi dibatas masuknya produk-produk dari luar negeri ke Indonesia karena fenomena tersebut sebetulnya sudah jauh diprediksi oleh Kanichi Ohmae yang menyatakan “bahwa pada masa mendatang dunia tidak lagi bisa dibatasi oleh apapun juga” dan prediksi tersebut saat ini sudah nampak kebenarannya. Merek sebagai aset perusahaan akan dapat menghasilkan keuntungan besar bila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan pengelolaan manajemen yang baik. Dengan semakin pentingnya peranan merek maka terhadap merek perlu diletakan perlindungan hukum yakni sebagai obyek yang terhadapnya terkait hak hak perseorangan ataupun badan hukum.
Dengan berkembangnya dunia perdagangan yang pesat dan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara, tentunya akan memberikan dampak dibidang perdagangan terutama karena adanya kemajuan di bidang teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi yang mana sebagai bidang tersebut merupakan faktor yang memicu globalisasi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).
Dalam kenyataan merek terkenal biasanya didahului oleh reputasi dan good will yang melekat pada keterkenalan tersebut. Merek yang mempunyai “good will” yang tinggi akan mampu memberikan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan, meskipun sebetulnya merek adalah sesuatu yang tidak dapat diraba (intangible). Sebuah merek akan menjelma menjadi aset capital semata-mata hanya berdasarkan pada good will, oleh karena itu menurut Lendsford menyebutkan bahwa perusahaan yang telah memiliki reputasi merek yang tinggi (higher reputation) akan memilik aset kekayaan yang luar biasa hanya berdasarkan pada good will dari merek tersebut.

Produk atau jasa yang bermerek saling lebih dahulu diiklankan dan dijual, walaupun produk atau jasa tersebut secara fisik belum tersedia di pasaran Negara tertentu. Media penyebaran dan periklanan modern menjadi semakin tidak di batasi oleh batas-batas nasional mengingat canggihnya komunikasi teknologi dan frekuensi orang bepergian atau mengadakan perjalanan melintas dunia. pemilik produk atau jasa yang bermerek banyak memanfatkan berbagai event-event yang banyak di tonton orang untuk memasarkan merek mereka sehingga orang yang melihat merasa tertarik untuk membeli produk atau meggunakan jasa dari suatu merek yang diiklankan tersebut.

Ditinjau dari aspek hukum masalah merek menjadi sangat penting, sehubungan dengan persoalan perlu adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik atau pemegang merek dan perlindungan hukum terhadap masyarakat sebagai konsumen atas suatu barang atau jasa yang memakai suatu merek agar tidak terkecoh oleh merek-merek lain, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masalah penggunaan merek terkenal oleh pihak yang tidak berhak, masih banyak terjadi di Indonesia dan kenyataan tersebut benar-benar disadari oleh pemerintah, tetapi dalam praktek banyak sekali kendala-kendala sebagaimana dikatakan oleh A Zen Umar Purba (mantan Dirjen HaKI) bahwa Law Enforcement yang lemah. Memang tidak dapat selamanya dijadikan alasan tetapi yang perlu diperhatikan adalah mengapa hal itu bisa terjadi ?. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari sisi historis masyarakat Indonesia yang sejak dahulu adalah masyarakat agraris, sehingga terbiasa segala sesuatunya dikerjakan dan dianggap sebagai milik bersama, bahkan ada anggapan dari para pengusaha home industri bahwa merek adalah mempunyai fungsi sosial. Pada satu sisi keadaan tersebut berdampak positif tetapi pada sisi lain justru yang anggapan demikian itu menyebabakan masyarakat kita sering berpikir kurang ekonomis dan kurang inofatif.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam dunia usaha tujuan utama adalah untuk mencari keuntungan, maka banyak sekali industri yang kurang memahami arti penting hubungan antara pengusaha, konsumen dan masyarakat akan berperilaku “profit oriented” semata tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lain tetapi lebih mementingkan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan pihak-pihak yang lain dan yang lebih mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut adalah tersedianya konsumen yang menggunakan produk mereka.

Pengusaha yang melihat hal itu sebagai salah satu peluang bisnis maka akan berusaha memperoleh keuntungan melalui jalan pintas yang tidak layak dengan cara membuat atau memasarkan barang atau produk dengan memalsukan atau meniru merek-merek terkenal dan bagi konsumen adalah suatu gengsi tersendiri bila menggunakan merek terkenal tersebut.

Faktor gengsi semu dari konsumen yang merasa bangga menggunakan merek terkenal terutama produk dari luar negeri (label minded) juga sangat mempengaruhi dan sekaligus menguntungkan pemalsuan merek, karena mendapatkan kesempatan untuk memuaskan hasrat mesyarakat melalui merek-merek asli tapi palsu (aspal) atau merek yang mirip dengan merek terkenal, dengan menghasilkan produk yang kerapkali sengaja disesuaikan dengan kemampuan kantong kosong konsumen yang ingin mengenakan merek terkenal tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk membelinya sehingga mereka membeli merek-merek asli tapi palsu asalkan tetap bisa gengsi.

Pemakaian merek terkenal atau pemakaian merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain secara tidak berhak dapat menyesatkan konsumen terhadap asal-usul, dan atau kualitas barang. Pemakaian merek terkenal secara tidak sah dikualifikasi sebagai pemakaian merek yang beritikad tidak baik.
Penggunaan produk dengan merek-merek tertentu disamping good will yang dimiliki oleh mereknya sendiri selain itu juga sifat fanatik dari konsumen terhadap merek tersebut yang dianggap mempunyai kelebihan atau keunggulan dari merek yang lain. Sifat fanatik yang dimiliki oleh konsumen tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan saja, tetapi ada juga mengutamakan prestise dan memberikan kesan tersendiri dari pemakainya sehingga dengan memakai persepsi mereka adalah suatu “simbol” yang akan menimbulkan gaya hidup baru (life style).

Adanya perbedaan persepsi didalam masyarakat mengenai merek menimbulkan berbagai penafsiran, tetapi meskipun begitu berarti bahwa tindakan orang-orang yang memproduksi suatu barang dengan mendompleng ketenaran milik orang lain tidak bisa dibenarkan begitu saja, karena dengan membiarkan tindakan yang tidak bertanggung jawab maka secara tidak langsung menghasilkan dan membenarkan seseorang untuk menipu dan memperkaya diri secara tidak jujur.
Tindakan mempergunakan merek terkenal milik orang lain, secara keseluruhan tidak hanya merugikan pemilik atau pemegang merek itu sendiri dan juga para konsumen tetapi dampak yang lebih luas adalah merugikan perekonomian nasional dan yang lebih luas lagi juga merugikan hubungan perekonomian internasional.

Untuk menghindari praktek-praktek yang tidak jujur dan memberikan perlindungan hukum kepada pemilik atau pemegang merek serta konsumen maka Negara mengatur perlindungan merek dalam suatu hukum merek dan selalu disesuaikan dengan perkembangan perkembangan yang terjadi di dunia perdagangan internasional yang tujuannya adalah mengakomodasikan semua kepentingan-kepentingan yang ada guna menciptakan suatu perlindungan hukum.

Pada tahun 1961 Indonesia mempunyai Undang-undang baru mengenai merek perusahaan dan perniagaan LN. No. 290 Tahun 1961. Undang-Undang tersebut disusun secara sederhana hanya berjumlah 24 pasal dan tidak mencantumkan sanksi pidana terhadap pelanggaran merek. Selain itu, asal undang-undang merek tersebut sama dengan undang-undang merek sebelumnya yang ditetapkan oleh Belanda, hal tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian dan politik pada saat itu yang masih memprihatinkan. Seiring dengan perkembangan perdagangan dan industri serta sejalan dengan terbukanya sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada saat itu maka sangketa-sangketa merek mulai muncul.
Dengan pesatnya perkembangan dunia perdagangan banyak sengketa-sengketa merek pada saat itu terutama antara pemilik merek terkenal dengan pengusaha lokal, hal tersebut disebabkan karena :
1. Terbukanya sistem ekonomi nasional, sehingga pengusaha nasional dapat mengetahui dan memanfaatkan merek-merek terkenal untuk digunakan dan didaftar lebih dulu di Indonesia demi kepentingan usahanya.
2.    Pemilik merek terkenal belum atau tidak mendaftarkan dan menggunakan mereknya di Indonesia.
Banyaknya sengketa merek sampai pada dekade 80-an, maka pada tahun 1987 pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01-HC.01.01 Tahun 1987 tentang “Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang mempunyai Persamaan dengan Merek Terkenal Orang lain”. Dengan adanya ketentuan tersebut maka banyak sekali pemilik merek terkenal yang mengajukan gugatan pembatalan mereknya dan banyak pula perpanjangan merek yang ditolak oleh kantor merek dikarenakan mempergunakan merek orang lain. Keputusan tersebut kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.03-HC.02.01 untuk lebih memberikan perlindungan terhadap pemilik merek-merek terkenal.

Selama masa berlakunya UU No. 21 Tahun 1961, banyak sekali perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia perdagangan, dimana norma dan tatanan dagang telah berkembang dan berubah dengan cepat, hal tersebut menyebabkan konsepsi yang tertuang dalam Undang-undang merek Tahun 1961 sudah sangat tertinggal jauh sekali. Untuk mengantisipasi perkembangan tersebut maka pemerintah pada waktu itu mengeluarkan UU No. 19 Tahun1992 tentang merek (LN. No.81 Tahun 1992) sebagai pengganti UU No.21 tahun 1961.

Sebagai Negara penandatangan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agrement On Tarif and Trade) dalam putaran Uruguay (Uruguay Round), Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agrement Establishing The World Trade Orgnization). Sejalan dengan itu maka pemerintah membuat kebijakan baru dengan melakukan perubahan dan penyempurnaan UU No. 19 Tahun 1992 dengan UU No. 14 Tahun 1997 dan diubah dan disempurnakan lagi dengan undang undang No. 15 Tahun 2001. Tujuan dari penyempurnaan tersebut tidak lain adalah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi komitmen internasional mengenal Hak atas Kekayaan Intelektual.

Perubahan atau penyempuarnaan itu pada dasarnya diarahkan untuk menyesuaikan dengan Konvensi Paris (Paris Convention For The Protection Of Industriale Property) pada tahun 1883, selain itu juga disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan TRIPs (Trade Releated Aspects Of Intelectual Property Right Including Trade In Counterfeit Goods) atau aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak atas kekayaan Intelektual.

Dalam Undang-undang merek No.15 Tahun 2001 ada perubahan sistem yaitu dari sistem deklaratif (First to use system), menjadi sistem konstitutif (Fist to file frinciple). Selain itu dalam undang-undang tersebut juga memberikan perlindungan terhadap merek-merek terkenal. Meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak juga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan beritikad tidak baik menggunakan merek terkenal milik orang lain yang tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal tersebut maka pihak yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah konsumen, oleh karena itu untuk lebih memberikan perlindungan kepada konsumen telah di undangkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang tentu saja tujuannya untuk kesejahteraan rakyat (konsumen) dan untuk menjamin iklim perdagangan yang jujur dan fair maka telah pula diundangkan UU No.5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan  Usaha Tidak Sehat, tetapi dalam undang-undang tersebut masalah perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual seperti Merek dikecualikan, karena merek adalah hak Eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemegangnya.

1.    B. Identifikasi Masalah
Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut dapat dilihat bahwa banyak sekali permasalahan disekitar hak atas kekayaan intelektual khususnya mengenai merek, walaupun telah ada undang-undang yang mengatur tetapi dalam kenyataannya masih juga terjadi penyimpangan-penyimpangan, padahal dengan adanya hukum diharapkan terciptanya suatu kepastian  dan keadilan bagi semuanya.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti melakuan identifikasi masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana perlindungan terhadap merek terkenal ?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



2.     Tinjauan Umum Tentang Merek Terkenal
Suatu merek bagi produsen barang atau jasa sangat penting, karena berfungsi untuk membedakan antara barang atau jasa satu dengan yang lainnya serta berfungsi sebagai tanda untuk membedakan asal-usul, citra reputasi maupun bonafiditas diantara perusahaan yang satu dengan yang lainnya yang sejenis. Bagi konsumen dengan makin beragamnya barang dan jasa yang berada dipasaran melalui merek dapat diketahui kualitas dan asal-usul dari barang tersebut.

Dalam kamus bahasa Indonesia Merek diartikan sebagai tanda yang dikenalkan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dsb) pada barang barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal atau cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya.
Secara yuridis pengertian merek tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 15 tahun 2001 yang berbunyi :
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”.

Dalam dunia perdagangan terdapat perbedaan tingkat derajat sentuhan kemashuran yang dimiliki oleh merek, tingkatan merek tersebut dimulai dari merek biasa atau “normal mark” kemudian merek terkenal atau “well-known mark” dan yang tertinggi ialah merek termashur atau “famous mark”.

Merek tidak hanya berfungsi sebagai tanda pengenal tetapi harus juga dapat berfungsi sebagai tanda pembeda yang jelas. Agar suatu lambang yang mungkin berbentuk lukisan atau gambar dan sebagainya bisa dibedakan dengan tanda atau lambang yang dipakai oleh orang lain, maka lambang tersebut harus mempunyai ciri khusus yang dilekatkan pada suatu benda atau barang yang merupakan media sehingga melahirkan suatu tanda tadi menjadi merek. Supaya produk atau jasa yang dibubuhi lambang tertentu bisa berkembang menjadi merek yang melambangkan simbol dan mitos maka barang yang bersangkutan harus dikenal secara umum baik pada suatu negara tertentu maupun dikenal secara intenasional.

Tujuan dari penggunaan merek adalah untuk memperlancar kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, maka dari perlindungan merek pada dasarnya tidak hanya untuk kepentingan pemilik merek saja akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen.

Masalah perlindungan merek terkenal merupakan topik yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi masalah di negara-negara lain. Merek terkenal memang menimbulkan magnet tersendiri bagi para pengusaha besar, menengah atau pengusaha kecil, hal itu tidak terlepas dari faktor profil (keuntungan) yang akan mereka dapatkan dengan menggunakan merek terkenal dari pada mereka menggunakan mereknya sendiri.

Merek terkenal, oleh banyak penulis diibaratkan sebagai golongan VIP (Very Important Person), karena menjadi idaman dan pilihan utama bagi semua lapisan konsumen. Merek tersebut menjadi simbol yang memiliki reputasi tinggi (higher reputasion) dan ikatan mitos (myticalcontext) pada segala lapisan konsumen.

Semakin meningkat peranan merek dalam dunia usaha maka penggunaan merek terkenal meningkat pula, karena masing-masing negara-negara menerapkan kriteria yang berbeda dan bertentangan dalam menentukan apa yang disebut dengan merek terkenal. Pemilik merek terkenal berhadapan dengan kebutuhan untuk melindungi merek merek yang mereka miliki secara global, oleh karena itu perlindungan terhadap merek terkenal secara khusus dan perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual secara umum menjadi faktor yang paling penting dalam hubungan perdagangan antar Negara.

Perlindungan merek terkenal diberlakukan baik terhadap barang atau jasa sejenis maupun yang tidak sejenis. Perlindungan bagi merek yang terkenal ini meliputi semua jenis barang dan jasa, sehingga peniruan merek terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi oleh “itikad tidak baik” dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dengan membonceng keterkenalan suatu merek orang lain sehingga tidak selayaknya mendapatkan perlindungan hukum. Dari hal tersebut bisa diketahui bahwa perlindungan terhadap merek terkenal dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu melalui inisiatif pemilik merek dan dapat juga dilakukan oleh kantor merek yaitu dengan menolak permintaan pendaftaran merek yang sama atau mirip dengan merek terkenal.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu :
       1.  Tidak mengatur definisi dan kriteria merek terkenal.
       2. Penolakan atau pembatalan merek, atau larangan penggunaan merek yang merupakan reproduksi, tiruan atau terjemahan yang dapat menyesatkan atas suatu barang atau jasa yang sama atau serupa apabila perundang-undangan negara tersebut mengatur atau permintaan suatu pihak yang berkepentingan.
3.    Gugatan pembatalan dapat diajukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dari pendaftaran, namun tidak ada jangka waktu apabila pendaftaran itu dilakukan dengan itikad tidak baik.

Pengakuan dan perlindungan merek terkenal berbeda dari suatu negara denga negara lainnya dan sampai saat ini belum terdapat keseragaman mengenai definisi mengenai merek terkenal, oleh karena itu Negara turut serta dalan persetujuan TRIPs Agreement berhak mengatur perlindungan merek terkenal dinegaranya sendiri.
Terhadap perlindungan merek terkenal dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang merek diatur dalam pasal 6 ayat 1 (b), ayat 2 ayat 3 (a) yang berbunyi :
Pasal 6 :
1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
2.    Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenisnya.
2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) dapat pula diberlakukan terhadap barang dan atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktur Jenderel apabila Merek tersebut:

a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
Kemudian penjelasan pasal tersebut di atas menyatakan :
Pasal 6 ayat (1) Huruf b :
Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal untuk barang dan atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Disamping itu, diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar besaran, investasi di beberapa Negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa Negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survey guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.
Pasal 6 Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 6 Ayat (3) Huruf a :
Yang dimaksud dengan nama badan hukum adalah nama badan hukum yang digunakan sebagai Merek dan terdaftar dalam daftar Umum Merek.
Dari ketentuan diatas dapat ditentukan kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan keterkenalan suatu merek terkenal yaitu :
2.    Pengetahuan masyarakat yang relevan terhadap merek.
3.    Pengetahuan masyarakat terhadap promosi merek.
4.    Didaftar oleh pemiliknya diberbagai negara.
Selain perlindungan yang telah diatur dalam pasal 6 ayat 1 (b), ayat 2 dan ayat 3 (a) UU No. 15 Tahun 2001, sebetulnya bagi siapa saja yang dengan sengaja mempergunakan merek milik orang lain dapat dikategorikan telah melakukan sesuatu kejahatan dan diancam dengan pidana penjara maupun denda sebagaimana diatur dalam pasal 90, 91, 92, 93, dan 94 Undang undang No. 15 Tahun 2001.
Persoalan perlindungan hukum terhadap pemilik merek terkenal tidak hanya dapat dipandang dari aspek hukum saja, akan tetapi perlu pula dipandang dari aspek lain seperti aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek budaya yang terdapat pada masyarakat itu.
Dipandang dari aspek ekonomi dan sosial banyak pengusaha lokal khususnya kalangan home industri yang memanfaatkan merek terkenal untuk dijadikan merek pada produknya dikarenakan :
Kemampuan bersaing antara pemilik merek terkenal dengan beberapa pengusaha lokal (home industri) atau mereka anggap melakukan pelanggaran terhadap pemiliknya merek terkenal (asing) terjadi karena terdapat beberapa faktor-faktor yang tidak seimbang. Ketidak seimbangan karena kemampuan modal dan sumber daya manusia yang meliputi pula kemampuan untuk melakukan promosi, pemasaran serta persaingan yang jujur.
Hubungan kerjasama yang tidak seimbang antara pemilik merek terkenal dengan pengusaha lokal dan sebaliknya. Misalnya perjanjian keagenan, distribusi, lisensi dan sebagainya sehingga terjadi pemanfaatan merek terkenal oleh segelintir pengusaha lokal.
Sikap masyarakat yang kerapkali memilih jalan pintas dalam memenangkan persaingan, menunggangi hak-hak pihak lain atau ketika memilih produk-produk asing yang disukainya. Rasa tidak percaya diri terhadap produk dalam negeri juga menjadi salah satu alasan kenapa mereka memilih merek terkenal walaupun itu merek asli tapi palsu (aspal).
Dampak dari globalisasi yang ditandai dengan makin banyaknya merek produk luar negeri dan merek terkenal menimbulkan permasalahan dalam praktek, disatu sisi terdapat pihak-pihak yang mengambil kesempatan ikut mendaftarkan merek-merek terkenal dengan tujuan “Dagang Merek” yang sudah pasti perbuatan itu dilakukan dengan itikad tidak baik. Untuk mengatasi hal itu sudah ada aturan yang jelas yaitu dalam UU No. 15 Tahun 2001 khususnya pasal 4 telah memperjelas maksud dan konsepsi yaitu merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.
Pemilik merek terkenal walaupun tidak terdaftar, dalam mengajukan gugatan untuk pembatalan pendaftaran merek, yaitu dengan terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pendaftaran merek kepada kantor Direktorat Jenderal (pasal 68 ayat 2). Pengecualian itu diberikan kepada merek terkenal dengan maksud untuk :
1. Memberikan perlidungan secara terbatas kepada pemilik merek terkenal yang tidak terdaftar.
2. Mendorong pemilik merek terkenal yang tidak terdaftar untuk mendaftarkan mereknya.
Perlindungan terhadap merek terkenal dapat kita lihat dari yurisprudensi Mahkamah Agung seperti dalam kasus merek GIORDANO antara Giordano Ltd. melawan Woe Budi Hermanto No. 426 PK / Pdt / 1994, tertanggal 3 November 1995, dari keputusan Mahkamah Agung terdapat perkara tersebut mengandung beberapa prinsip-prinsip sebagi berikut :
1.    Seseorang berkewajiban untuk menegakan prinsip dan iklim perdagangan bebas dan persaingan bebas. Kondisi dan iklim yang sehat dalam perdagangan hanya dapat tercapai manakala semua bangsa menghormati pemilik atau pemegang hak, baik pada pasar domestik maupun pada pasar internasional terlepas dari mana barang itu berasal. Oleh sebab itu siapa saja dilarang untuk melakukan persaingan curang (Unifair Competition) dengan melakukan upaya apa saja (tiruan, reproduksi, terjemahan) terhadap merek orang lain yang dapat mengelabui masyarakat.
2.    Semua tindakan mengelabui dan mengembangkan terhadap sebuah merek yang pada akhirnya akan membahayakan dan merugikan baik untuk pemilik, untuk pemegang hak dan masyarakat (konsumen) haruslah dianggap dan dikualifikasikan sebagai pelanggaran dengan sengaja dan perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sehat (Unjust Enrichment)
3.    Sebuah merek menunjukan adanya good will yang mengandung nilai nilai moral, material dan komersial. Dengan demikian good will yang melekat pada merek adalah suatu kebendaan yang menerbitkan akibat-akibat sebagai berikut :
- Setiap merek harus diakui sebagai bentuk kebendaan yang harus dilindungi oleh masyarakat dan penguasa.
- Setiap pemegang hak mempunyai hak yang eksklusif dan berhak untuk menikmati haknya tersebut.
Perlindungan hukum dalam bidang merek dapat pula memberikan manfaat lain yaitu mendorong alih teknologi dari negara maju, menyediakan informasi produk serta perlindungan kepada para konsumen, karena secara tradisional merek dilihat sebagai alat bagi produsen untuk menciptakan brandl oyaly diantara para konsumen. Hal ini penting bagi keberadaan dan pengembangan perusahaan industri.
Konsumen yang dimaksud disini adalah konsumen akhir. Secara harfiah konsumen berarti setiap orang yang menggunakan barang atau jasa. Dilihat dari tujuan penggunaan barang atau jasa maka konsumen dapat dibedakan menjadai 2 macam yaitu :
1.    Konsumen yang menggunakan barang atau jasa sebagai bahan baku pembuat barang lain dengan maksud untuk diperdagangkan (capital goods).
2.    Konsumen yang mengguankan barang atau jasa dengan maksud memenuhi kebutuhan hidup dirinya sendiri, keluarga atau rumah tangganya (consumen goods)





BAB III
PEMBAHASAN

3.    Perlindungan Terhadap Merek Terkenal


Pada awalnya merek hanyalah sebuah tanda agar konsumen dapat membedakan produk barang/jasa satu dengan yang lainnya. Dengan merek konsumen lebih mudah mengingat sesuatu yang dibutuhkan, dan dengan cepat dapat menentukan apa yang akan dibelinya. Dalam perkembangannya peran merek berubah. Merek bukan sekedar tanda, melainkan gaya hidup. Secara filosofis merek dapat membangun image baik dan buruk sebagai bagian dari nilai good-will perusahaan. Pentingnya merek bagi perusahaan dapat kita sitir melalui kata-kata David A. Aaker, “Nothing is more emotional than a brand within an organization”. Dengan kata-kata profesor marketing pada Haas School of Business University of California Berkeley ini seakan-akan menunjukkan betapa erat hubungan antara merek dan dunia usaha.
            Menurut Susanto A.B (2008), merek selain digunakan sebagai nama atau simbol pada obyek barang/jasa juga digunakan sebagai sarana promosi. Tanpa merek pengusaha tidak dapat mempromosikan barang/jasanya kepada masyarakat luas dan maksimal. Dan, masyarakat tidak dapat membedakan mutu barang/jasa satu dengan lainnya. Selain itu, merek juga dapat mencegah orang berbuat curang dan bersaing secara tidak sehat. Meskipun persaingan dalam dunia usaha adalah hal biasa, namun merek dapat mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merugikan pihak lain. Melalui merek asal usul barang pun bisa dideteksi. Artinya, dapat diketahui suatu barang berasal dari daerah mana. Misalnya, orang Perancis penggemar kopi Kintamani, akan mencari dan membeli kopi bermerek dagang atau merek indikasi geografis ”Kopi Kintamani”. Ia tahu kopi kesukaannya ini berasal dari daerah Kintamani di Bali Indonesia.
            Membicarakan soal merek tidak dapat dihindari adanya hak atas merek yang menjadi obyek dari kekayaan intelektual. Dengan adanya sistem pendaftaran merek, sertifikat merek menjadi penting. Hak atas merek akan diberikan kepada pemilik merek yang mereknya telah didaftar menurut undang-undang yang berlaku dan memperoleh sertifikat. Bagaimana dengan merek-merek terkenal yang tidak/belum didaftar di suatu negara? Ternyata, merek terkenal atau dianggap terkenal mempunyai keistimewaan yang diatur secara khusus.Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dari tulisan ini adalah apakah merek itu? Dan, apa konsep dasar pemberian hak atas merek? Secara khusus, bagaimana perlindungan hukum atas merek terkenal?
            Analisa tentang merek dibatasi pada merek sebagai obyek hak kekayaan intelektual yang merupakan hak individual dan menjadi bagian dari kekayaan industri menurut TRIPs Agreement dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Dan, tentang indikasi geografis walaupun diatur dalam Pasal 56, tidak termasuk yang diuraikan dalam tulisan ini. Maka tujuan dari tulisan ini adalah pertama, mendeskripsikan tentang konsep merek dan dasar pemberian hak atas merek; kedua, memberikan pemahaman dasar tentang merek terkenal dan perlindungan hukumnya.

1. Pemahaman tentang Merek
   a. Sejarah Merek
            Menurut Duane E. Knapp, pemberian tanda pada barang sebagai merek bukanlah fenomena baru. Zaman prasejarah dan setelah sejarah ditulis telah membuktikan hal ini. Para pemburu pada zaman itu telah memberi tanda atau ukir-ukiran pada senjata buruan mereka sebagai bukti kepemilikan. Pembuat tembikar pada masa Yunani dan Romawi kuno telah memberi identitas dengan memberi tanda pada dasar pot ketika masih basah, yang akan menimbulkan relief ketika kering. Hal lain lagi adalah menuliskan nama diri pada beberapa barang, seperti pada pahatan batu yang dimaksudkan sebagai identifikasi pembuatnya. Pada abad pertengahan, penggunaan tanda-tanda seperti cap pada hewan ternak juga sudah dilakukan. Para pedagang Eropa pada abad itu juga telah menggunakan merek dagang untuk meyakinkan konsumen dan memberi perlindungan hukum terhadap produsen. Jauh setelah Revolusi Industri banyak muncul merek-merek baru seperti Levi’s sekitar tahun 1830, Coca Cola tahun 1886, dan lain sebagainya.
            Pada zaman modern seperti saat ini merek bisa menjadi aset bagi pemiliknya, karena dapat mendatangkan keuntungan dan dijadikan sarana promosi bagi usahanya. Bagi sebagian masyarakat merek adalah gaya hidup. Artinya merek dapat dijadikan sarana untuk menunjukkan bahwa seseorang tidak ketinggal jaman, dan selalu mengikuti mode yang sedang trend. Pada perkembangannya merek juga menjadi citra. Orang-orang yang menggunakan merek-merek tertentu merasa lebih percaya diri. Misalnya rokok merek Dji Sam Soe melambangkan sifat kejantanan. Mobil bermerek Lesus melambangkan kemapanan. Atau seseorang yang menggunakan pulpen Mount Blanc  melambangkan status eksekutif, dan lain-lain.
            Di samping itu merek dapat mewakili sebuah obyek. Misalnya orang yang mau membeli deterjen menyebut ”mau membeli Rinso”, walau merek Attack yang dibelinya. Penyebutan kata Rinso ditujukan kepada deterjen dan bukan merek itu sendiri. Honda dianggap mewakili sepeda motor; Sasa untuk penyedap makanan; Odorono untuk deodorant. Dan, Aqua untuk air minum mineral.
2.  Konsep Dasar Pemberian Hak atas Merek
            Konsep dasar pemberian hak atas merek adalah bahwa merek termasuk obyek hak kekayaan intelektual di bidang industri. Merek, sebagai hak milik yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta dan karsa, yang untuk menghasilkannya memerlukan pengorbanan tenaga, pikiran, waktu  dan biaya, menjadikan karya yang dihasilkan mempunyai nilai. Nilai ekonomi yang melekat pada hak milik itu menimbulkan konsepsi kekayaan (property). Dengan konsep kekayaan, maka HKI perlu diberi perlindungan hukum dan hak. Dan, oleh si pemilik hak itu perlu dipertahankan eksistensinya terhadap  siapa saja yang menggunakannya tanpa ijin. Merek tanpa sertifikat pendaftaran tidak akan dilindungi oleh undang-undang HKI.
a.  Sistem Pendaftaran Merek
            Apa fungsi pendaftaran merek? Pendaftaran merek penting dan disyaratkan oleh undang-undang bahwa merek harus di daftar. Selain berguna sebagai alat bukti yang sah atas merek terdaftar, pendaftaran merek juga berguna sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhannya atau sama pada pokoknya yang dimohonkan oleh orang lain untuk barang atau jasa sejenis. Dan, sebagai dasar mencegah orang lain memakai merek yang sama pada pokoknya atau secara keseluruhan dalam peredaran barang atau jasa.
Perlindungan hukum terhadap merek diberikan melalui proses pendaftaran. Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Merek menerapkan sistem konstitutif. Artinya, hak atas merek diperoleh karena proses pendaftaran, yaitu pendaftar merek pertama yang berhak atas merek.
            Melalui pendaftaran merek dikenal dua macam sistem. Sistem konstitutif dan deklaratif. Sistem deklaratif adalah sistem pendaftaran yang hanya menimbulkan dugaan adanya hak sebagai pemakai pertama pada merek bersangkutan. Sistem deklaratif dianggap kurang menjamin kepastian hukum dibandingkan dengan sistem konstitutif berdasarkan pendaftaran pertama yang lebih memberikan perlindungan hukum. Sistem pendaftar pertama disebut juga first to file principle. Artinya, merek yang didaftar adalah yang memenuhi syarat dan sebagai yang pertama. Tidak semua merek dapat didaftarkan.  Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beretikad tidak baik. Pemohon beretikad tidak baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara tidak layak  dan tidak jujur, ada niat tersembunyi misalnya membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran  menimbulkan persaingan tidak sehat dan mengecohkan atau menyesatkan konsumen.  Yang dapat mendaftarkan merek adalah orang atau badan hukum.
Merek tidak dapat didaftar bila, misalnya :
a)      merupakan tanda yang terlalu sederhana dan tidak memiliki daya pembeda. Contohnya garis atau titik. Terlalu rumit, misalnya benang kusut, susunan puisi;
b)      tanda yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Misalnya kata atau lukisan/gambar yang melanggar kesusilaan, menyinggung kehormatan dan perasaan agama;
c)      tanda yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang yang dibubuhi merek tersebut. Misalnya gambar jeruk untuk sirup jeruk mengandung rasa jeruk;
d)     tanda yang sudah menjadi milik umum. Misalnya jempol;
e)      tanda kata-kata yang sudah umum. Misalnya kerbau.
Di samping itu, permohonan merek harus ditolak dengan alasan mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang/jasa sejenis dengan alasan:
a)      ada merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu.
b)      ada merek yang sudah terkenal milik pihak lain.
c)      berkaitan dengan indikasi geografis yang sudah terkenal.
Yang dimaksud dengan Persamaan Pada Pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antar merek yang satu dan merek lainnya. Menurut yurisprudensi persamaan pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a)      Persamaan pada pokoknya yang menyangkut bunyi. Misalnya kasus Salonpas dengan Sanoplas. Akhirnya merek Sanoplas harus dihapus; Merek Sony dengan Sonni.
b)      Persamaan pada gambar. Misalnya kasus Miwon dan Ajinomoto yang keduanya bergambar mangkok merah, walau mangkok dalam posisi berbeda.
c)      Persamaan yang berkaitan dengan arti sesungguhnya. Misalnya De Zon (Belanda berarti matahari, Solei (Prancis).
d)     Persamaan pada pokoknya karena tambahan kata. Misalnya kasus minuman air mineral Aqua dengan Aquaria.
e)      Indikasi Geografis. Misalnya Kopi Toraja yang berasal dari daerah Toraja. Brem Bali dari Bali, Batik Pekalongan dari Pekalongan, dan lain-lain.


Pendaftaran merek harus ditolak bila merupakan:
a)      persamaan pada pokoknya dengan merek yang sudah terdaftar sebagai milik orang lain dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa  yang sama (Pasal 6 Ayat (1ª)
b)      sesuatu yang terkenal, milik pihak lain untuk barang atau jasa sejenis (Pasal 6 ayat 1.b.).
c)      Nama dan foto orang terkenal tanpa izin dari yang bersangkutan.
d)     Lambang negara, bendera tanpa ijin dari pemerintah (Pasal 6 ayat 3 b.)
e)      Tanda atau cap atau stempel resmi tanpa persetujuan tertulis dari pihak berwenang.

b. Waktu perlindungan Merek
            Suatu merek yang sudah terdaftar dan bersertifikat dilindungi selama 10 tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan pendaftaran merek. Waktu ini dapat diperpanjang lagi atas permohonan si pemilik selama waktu yang sama selama merek tetap digunakan dalam dunia bisnis. Permohonan perpanjangan diajukan dalam jangka waktu 12 bulan sebelum berakhir jangka waktu perlindungan merek yang sudah terdaftar. Bila selama 3 tahun berturut-turut merek tidak digunakan akan batal.
c. Lembaga Multilateral yang berhubungan dengan Merek.
            Paris Convention for Protection of Industrial Property adalah konvensi yang menaungi HKI di bidang kekayaan industri. Indonesia meratifikasi konvensi tersebut melalui Keppres No. 15 tahun 1997. World Intellectual Property Organization (WIPO) adalah organisasi Kekayaan Intelektual menjadi komoditi dalam perdagangan internasional sejak Putaran Uruguay. Saat ini Agreement Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs) menjadi salah satu agreement negara-negara anggota di bawah World Trade Organization (WTO). Indonesia sudah meratifikasi hasil Putaran Uruguay dengan undang-undang No. 7 tahun 1994. Dan, Trademark Law Treaty dengan Keppres No. 17 Tahun 1997. Sedangkan Madrid Protocol sebagai dasar pendaftaran merek secara internasional belum diratifikasi oleh Indonesia.
4. Litigasi : Perlindungan Merek
 Sengketa merek merupakan delik aduan. Gugatan dalam sengketa merek ditujukan kepada Pengadilan Niaga di daerah hukum tergugat bertempat tinggal. Putusan Pengadilan Niaga bersifat serta merta. Artinya dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum lainnya. Tidak terbuka upaya Banding, tetapi langsung Kasasi. Ini sebagai dampak dari sifat Pengadilan Niaga yang cepat, efektif dan efisien.

Penutup
Kendati merek sejak lama mempunyai peran dalam dunia usaha, namun baru pada abad 20 merek dan penafsiran merek menjadi begitu penting bagi para pelaku bisnis, terutama dalam persaingan. Sehingga tidaklah berlebihan jika merek dianggap sebagai aset tak berwujud yang sangat penting. Dasar pemberian hak atas merek adalah bahwa merek sebagai obyek kekayaan intelektual di bidang industri mempunyai nilai ekonomi yang melekat dan menimbulkan konsepsi kekayaan (property). Dengan konsep itu merek perlu didaftar dan dimintakan sertifikat sebagai perlindungan hak milik dan pengakuan hak.



| Free Bussines? |

1 komentar: