Kamis, 10 November 2011

Penggunaan video conference sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan


Teknologi telah merambah semua sisi kehidupan, tak terkecuali bidang hukum. Setelah beberapa waktu lalu kesaksian melalui video conference dipergunakan dalam proses persidangan, Dalam hukum acara pidana dikenal lima alat bukti, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli (expertise), surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat (1) KUHAP). Dalam acara perdata dikenal beberapa Alat bukti  yaitu: alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan persangkaan, pengakuan dan sumpah (Pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW) Selain alat-alat bukti tersebut dalam hukum acara perdata juga dikenal pemeriksaan setempat (discente) dan keterangan ahli (expertise). Dalam peradilan agama dikenal beberapa alat bukti yaitu Sumpah, Pengakuan, penolakan sumpah, qasamah, bayyinah, ilmu qadhi dan petunjuk-petunjuk. Sedangkan dalam PTUN dikenal beberapa alat bukti yaitu Surat atau tulisan, Keterangan ahli, Keterangan saksi, Pengakuan para pihak, dan  Pengetahuan hakim.
Alat bukti selama ini dipahami sebagai sesuatu yang dijadikan dasar oleh hakim untuk memutus perkara. Berbeda dengan barang bukti yang hanya berfungsi untuk menambah keyakinan hakim dalam memeriksa perkara. Ketidakhadiran saksi korban banyak diakibatkan oleh ketidakmampuan jaksa penuntut umum untuk menghadirkan saksi korban secara maksimal, ketidakpercayaan atas jaminan keamanan terhadap saksi korban, perlakuan terhadap saksi korban saat diperiksa dan alasan-alasan lainnya sehingga saksi korban enggan diperiksa di persidangan. Implikasi dari kesaksian yang tidak memadai tersebut terutama karena minimnya kehadiran saksi korban membuat tersendatnya proses pembuktian yang akhirnya akan menyulitkan hakim dalam memberikan keputusan hukum
Persoalan tentang perlindungan saksi dan korban seharusnya menjadi persoalan yang sangat penting dalam proses peradilan HAM ini. Karena itu perlindungan atau pemberian hak-hak khusus kepada saksi dan korban mutlak harus dilakukan. KUHAP yang menjadi landasan penting beracara dalam pengadilan HAM ini telah memberikan hak-hak kepada saksi, walau tidak memadai. Demikian pula pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 dan PP No. 2 Tahun 2002 secara khusus telah pula memberikan pengaturan tentang perlindungan saksi dan korban dalam kasus pelanggaran HAM berat.

Pada kenyataannya selama proses peradilan pelanggaran HAM berat ad hoc ini, perlindungan terhadap saksi dan korban tidak cukup memadai bahkan terhadap hak-hak korban yang secara jelas  sudah diatur oleh undang-undang, ternyata tidak dapat diberikan. Tidak diberikannya hak-hak saksi dan korban yang secara tegas telah dinyatakan dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidakpercayaan saksi dan korban bahwa hak-hak mereka akan dilindungi bahkan diberikan ketika mereka berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal ini menunjukkan, bukan saja dapat dikatakan bahwa negara gagal mewujudkan sistem peradilan yang kompeten dan adil, negara gagal menjamin sistem kesejahteraan dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM, karena Hak korban akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi bidang kesejahteraan/jaminan sosial (social security).

Perlindungan keamanan bagi saksi diharapkan juga diberikan setelah proses pemberian kesaksian. Sebagai contoh, pengakuan salah seorang saksi yang menyatakan bahwa posisinya sangat sulit untuk memberikan kesaksian di pengadilan ini karena ketakutan bahwa kesaksian yang diberikannya tersebut akan menimbulkan masalah karena para terdakwa masih memiliki otoritas yang besar (saksi menyebutkan bahwa: “mereka” sangat “kuat”). Pengakuan ini dilakukan karena saksi tinggal di daerah perbatasan dan daerah tersebut masih sangat rawan.10 Ketakutan bahwa kesaksiannya akan “salah” merupakan indikasi bahwa saksi merasa tertekan untuk memberikan keterangan secara leluasa dan harus berhati-hati, padahal saksi sendiri adalah seorang anggota kepolisian.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 sebenarnya telah memberikan cara untuk prosedur pemberian kesaksian yang berbeda dengan KUHAP, yaitu pemberian kesaksian  dengan menggunakan videconfrence atau tanpa hadir langsung di pengadilan.13 Tapi prosedur ini diatur dengan PP yang secara yuridis dianggap bertentangan dengan aturan dari KUHAP sebagai dasar untuk proses beracara dalam pengadilan HAM ad hoc ini. Hal ini problematik karena proses pembuktian yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak menjadi otomatis diterima oleh majelis hakim karena derajat peraturan yang berbeda.14 Oleh karena itu pelaksanaan dari proses pemberian kesaksian  yang dimaksud oleh PP tersebut terbatas digunakan oleh para hakim karena para hakim sendiri berbeda pendapat mengenai perlu tidak digunakannya mekanisme kesaksian ini.

Dalam prakteknya ternyata proses pembuktian yang terutama berkaitan dengan pemeriksaan saksi membutuhkan sebuah mekanisme khusus. Terobosan yang dilakukan oleh majelis hakim ketika memperbolehkan adanya pemeriksaan melalui media teleconference merupakan salah satu mekanisme pemberian keterangan oleh saksi terutama saksi korban yang tidak diatur oleh KUHAP. Alasan digunakannya teleconference adalah bahwa adanya adagium “bahwa hukum itu berkembang dan cenderung tertinggal”.  Hakim sebagai penegak hukum memang mempunyai kewajiban untuk menggali hukumnya terutama dalam konteks pelanggaran HAM berat yang merupakan kejahatan internasional dan merupakan yurisdiksi internasional. Apalagi di dalam hukum acara pidana internasional media teleconference tersebut telah lazim digunakan. Hal ini juga sejalan dengan PP No. 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat yang menyatakan bahwa pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Jadi menurut pendapat saya Dapat diterapkannya media teleconference sebagai salah satu cara dalam pemeriksaan saksi dalam pengadilan HAM ad hoc ini ternyata lebih banyak diakibatkan pertimbangan dari majelis hakim tentang perlunya cara ini digunakan agar menemukan kebenaran materiil. Majelis hakim yang menggunakan media teleconference ini perlu mengeluarkan penetapan secara khusus untuk terlaksananya teleconference. Hal ini berarti bahwa proses pemberian kesaksian melalui teleconference tersebut tidak dapat secara otomatis dapat digunakan. Bahkan para penasehat hukum para terdakwa juga menyatakan keberatan atas digunakannya media teleconference ini sebagai salah satu cara untuk memeriksa kesaksian karena bertentangan dengan kitab undang-undang hukum acara yang berlaku.  Perbedaan pandangan apakah media teleconference, sebagai salah satu cara untuk melindungi saksi ketika memberikan keterangan secara aman baik fisik dan mental, bertentangan dengan KUHAP menjadi bahan analisis yang penting karena akan berimplikasi pada model kesaksian dalam kasus-kasus Pelanggaran HAM berat yang lain.
Implikasi terhadap pertentangan secara yuridis ini adalah apakah pemeriksaan saksi dengan menggunakan media teleconference ini akan dapat digunakan sebagai sebuah alat bukti yang sah atau tidak jika dilihat ketentuan dalam KUHAP bahwa kesaksian yang dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah adalah saksi yang hadir langsung di persidangan dan saksi yang dibacakan keterangannya yang telah disumpah terlebih dahulu. Jika tidak ada jaminan bahwa model kesaksian media teleconference ini dapat diperlakukan sebagai alat bukti yang sah maka segala keputusan yang telah diambil majelis hakim dapat dibatalkan dalam tingkat banding.
Langkah yang diambil oleh majelis hakim dengan diijinkannya media teleconference tersebut merupakan satu-satunya langkah majelis hakim yang telah mengadopsi ketentuan hukum internasional dalam prosedur beracara. Disini hakim berani untuk melakukan terobosan hukum demi menjamin perlindungan kepada saksi korban dan demi untuk menemukan kebenaran materiil. Hakim berani mengambil langkah untuk melindungi saksi korban dari ancaman baik mental maupun fisik dari ancaman, gangguan maupun teror kepada saksi yang pernah terjadi pada saat saksi korban datang ke persidangan untuk memberikan kesaksian.

| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar