Jumat, 25 November 2011

"MONEY LOUNDRING" Tindak Pidana Pencucian Uang



Sebelum kita mempelajari lebih dalam tentang tindak pidana pencucian uang (Money Loundring) Kita harus mengetahui dulu sejarah dari money Loundring itu sendiri, Pencucian uang secara umum merupakan suatu cara menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana sehingga nampak seolah-olah harta kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut sebagai hasil kegiatan yang sah. Lebih rinci di dalam Pasal 1 angka 1 UU TPPU, pencucian uang didefinisikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal.
Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya.

a.       Pola tindak pidana pencucian uang           
 Modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup complicated. Secara sederhana, kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan, yakni : placement, layering dan integration.
Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan ke dalam system  keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.
Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang.           
Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate  explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci’ melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

b.      Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana lainnya
Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate crime) dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Sehingga tepat sekali pendapat bahwa tidak akan ada money laundering kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta kekayaan (“no crime no money laundering”). Sesuai dengan Pasal 1 UUTPPU yang telah diuraikan di atas, semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang.Di lain pihak, pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang beridiri sendiri (independent crime) karena delik pidana pencucian uang telah dirumuskan secara mandiri sesuai Pasal 3 dan 6 UU TPPU. Proses tindak pidana pencucian uang tidak harus menunggu adanya putusan pidana atas tindak pidana asal (predicate crime). Hal ini tepat sekali karena memang di dalam Pasal 3 dan 6 UUTPPU, perumusannya “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil kejahatan” dan bukan “harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan”. Dengan demikian, hanya cukup dengan dugaan bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari hasil tindak pidana maka pidana pencucian uang dapat diterapkan sepanjang seluruh unsur pidananya dan proses acara pidananya telah terpenuhi (lihat penjelasan Pasal 3 ayat 1 UUTPPU).

c.       Unsur-Unsur
Pasal 1 angka 1 UU No.25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah.

Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Pelaku
b. Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah Merupakan hasil tindak pidana

ad. a) Pelaku
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003, digunakan kata “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

ad. b)Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah
Istilah transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hokum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi hukum perdata, sehingga undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hokum pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK. Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003) :

a.      transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b.       transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c.        transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, dan definisi Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 25 Tahun 2003 adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrument pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.

ad. c) Merupakan hasil tindak pidana
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan melawan hokum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.

d.      Dampak Money Laundering
Baik cara perolehan uang yang illegal maupun transaksi keuangan untuk melegalkan uang hasil tindakan illegal menimbulkan dampak ekonomi mikro dan makro.
Dampak ekonomi mikro :
a.       cara perolehan uang yang illegal mengganggu jalannya mekanisme pasar. Esensi sistem pasar adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi maupun atas barang-barang serta jasa-jasa yang digunakan untuk keperluan konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang illegal telah menunjukkan tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak milik, pasar menjadi tidak efisien yang ditunjukkan dengan meningkatnya biaya transaksi pasar, adanya akses yang asimetris pada informasi pasar yang menyebabkan transaksi bersifat zero sum gamedalam arti bahwa keuntungan suatu pihak dapat membawa kerugian bagi pihak lain.
b.      transaksi keuangan untuk melegalkan hasil perolehan uang yang illegal membawa dampak penurunan produktifitas masyarakat.

Dampak ekonomi makro :
a.       tindak pidana pencucian uang menghindarkan kewajiban pembayaran pajak yang berarti mengurangi penerimaan Negara;
b.      apabila transaksi keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang ilegal ke luar negeri maka akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri, selain itu juga mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan bank melakukan ekspansi kredit;
c.       Apabila Negara memperoleh sejumlah uang ilegal dari luar negeri maka akan menambah kegoncangan stabilitas ekonomi makro. Terlebih untuk Negara yang tidak memiliki cukup banyak instrumen moneter sehingga tidak mampu mensterilisasi dampak moneter pemasukan modal. Jika bank sentral membeli devisa yang masuk itu sebagai upaya untuk mempertahankan nilai tukar luar negeri mata uang nasionalnya, jumlah uang beredar akan bertambah dengan cepat dan tambahan jumlah uang beredar itu akan menyulut inflasi sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan internal perekonomian. Akan tetapi jika bank sentral tidak membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang nasional yang menyebabkan berkurangnya insentif kegiatan ekspor. Pengurangan ini akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri.

e.      Tahapan Pencucian Uang
a.       tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di beberapa tempat;
b.      tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat berupa : mentransfer ke negara lain dalam bentuk mata uang asing, pembelian property, pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit yang ada di Bank A untuk meminjam uang di Bank
B  dan sebagainya.

c.       tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal.

f.        Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 dimuat dalam :
Pasal 3
(1)    Setiap orang yang dengan sengaja:
a.       menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b.       mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c.        membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d.      menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e.      menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f.        membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g.        menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

(2)    Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1)    Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

(2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 7
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Dari pasal-pasal di atas, ditunjukkan adanya pengaturan terhadap jenis-jenis tindak pidana sebagai berikut :

1.       Tindak pidana pencucian uang : yaitu tindakan untuk menempatkan, mentransfer, membayar/membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga lainnya, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.
2.       Tindak pidana percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.
3.       Tindak pidana menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Selain itu juga ditemukan adanya pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang :
a.       penyedia jasa keuangan yang sengaja tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan kepada PPATK atas transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, bila dilakukan dalam 1 (satu) kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja;
b.      setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih untuk melapor kepada Dirjen Bea dan Cukai;
c.       bagi direksi, pejabat atau pegawai penyedia jasa keuangan yang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK;
larangan bagi saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar